REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Parlemen Mesir memberi lampu hijau kepada Presiden Abdel-Fattah al-Sisi untuk melakukan intervensi militer di Libya. Anggota dewan telah menyetujui pengerahan pasukan bersenjata di luar negeri untuk memerangi kelompok teroris dan milisi.
Sejak pekan lalu Sisi telah memperingatkan bahwa Mesir tidak akan diam saja jika ada ancaman terhadap keamanan nasional di Mesir dan negara tetangganya, Libya. Mesir bersama Uni Emirat Arab dan Rusia, mendukung Khalifa Haftar, telah terpukul mundur ketika menyerang di ibu kota Tripoli bulan lalu akibat dukungan Turki kepada pemerintah Suriah yang dipegang oleh Government of National Accord (GNA).
Anggota parlemen Libya yang bersekutu dengan Haftar meminta Kairo untuk ikut campur tangan secara militer untuk melawan Turki pada bulan ini. Dalam sebuah pernyataan pada pemungutan suara, pasukan akan mempertahankan keamanan nasional di bagian barat yang strategis.
Setelah keputusan tersebut, televisi pemerintah Mesir kemudian memasang spanduk di layar yang bertuliskan "Mesir dan Libya, satu orang, satu nasib". Ketua komite pertahanan di parlemen Libya yang berbasis di timur, Talal al-Mayhoub, mengatakan langkah parlemen Mesir adalah langkah pertama menuju mengaktifkan pakta pertahanan Mesir-Libya.
Tapi, sesaat sebelum pemungutan suara, Sisi dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump berbicara melalui telepon. "Kedua pemimpin menegaskan perlunya segera de-eskalasi di Libya, termasuk melalui gencatan senjata dan kemajuan negosiasi ekonomi dan politik," kata Gedung Putih dalam sebuah pernyataan.
Mesir mengaku khawatir tentang ketidakstabilan di Libya dan keberadaan dukungan Turki untuk pasukan Tripoli. Apalagi, saat ini pasukan pemerintah Tripoli telah bergerak lebih dekat ke pusat kota Sirte, wilayah yang menjadi pintu gerbang ke pelabuhan-pelabuhan pengekspor minyak yang dipegang oleh pasukan Haftar, Libyan National Army (LNA). Sisi telah menyatakan garis depan Sirte sebagai garis merah untuk Mesir.