REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan total luas hutannya yang mencapai 125,7 juta hektare (ha) dikenal pula sebagai salah satu mega biodiversity.
Tokoh yang mencetuskan perekonomian berkelanjutan di Indonesia Prof Emil Salim mengatakan, dari luasan itu yang akan rusak dengan dijadikan sebagai hutan produksi terbatas (HPT) dan hutan konversi (HK) mencapai sekitar 42 juta ha. Maka hutan yang tidak rusak dan berfungsi baik mencapai sekitar 83,7 juta ha.
Luasan itu lah yang, menurut mantan menteri Lingkungan Hidup di era pemerintahan Presiden Soeharto itu, harus dapat dikelola dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menyejahterakan seluruh bangsa, tanpa merusak fungsi dan karakter hutan. "Kata kuncinya, perkaya hutan. Sumber daya di hutan dimanfaatkan untuk pengayaan pembangunan berkelanjutan," ujar Emil Salim, Kamis (23/7).
Hutan itu bukan cuma kayu, hutan juga punya bunga yang bisa jadi bahan baku parfum. Jika Malaysia dari Borneo bisa mengekspor parfum ke Prancis, mengapa Indonesia tidak bisa, kata ekonom Universitas Indonesia yang pernah menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Presiden di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu.
Lalu Emil Salim juga mengajak untuk melihat hutan yang memiliki bermacam-macam fungsi yang selama ini dimanfaatkan oleh masyarakat adat. Suku Kubu atau dikenal juga dengan Suku Anak Dalam yang hidup di Jambi memiliki kepala suku dan panitra atau juru tulis yang merekam tanaman apa saja yang dapat dimakan, menjadi obat, bahkan menjadi racun.
"Itu adalah kekayaan hayati dari hutan yang ada di Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu, dan sebagainya. Andai informasi itu dapat dikembangkan, dipilah mana yang bisa jadi obat, atau mungkin siput pinggir sungai di tempat Suku Dayak Iban yang biasa dibakar lalu ditumbuk untuk obat sakit perut, ternyata setara dengan norit," kata Emil Salim.
Artinya, suku-suku atau masyarakat adat merekam dengan baik kekayaan hayati yang bermanfaat dari dalam hutan. Andai saja semua itu dikembangkan dengan memberi nilai tambah, maka Indonesia akan mempunyai sumber pangan dan obat yang beragam, ujar dia.
Jika sudah tercipta dan merasakan nilai tambah kekayaan hayati dari hutan sebagai sumber pembangunan berkelanjutan, tentu rasa untuk melindungi keberadaannya menjadi semakin kuat, seperti yang selama ini dipraktikkan oleh masyarakat adat.
Adaptasi kearifan lokal
Kebijakan memperbolehkan pembukaan lahan dengan membakar sesuai UU Nomor 32 Tahun 2009 memang memicu beragam interpretasi dan terkadang menjadi polemik oleh sebagian pihak karena dianggap melemahkan upaya pencegahan karhutla.
Meskipun dalam peraturan tersebut diatur berbagai syarat sebelum diperbolehkannya membakar lahan, di antaranya maksimal dua hektare per kepala keluarga masyarakat adat, diperuntukkan untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal, dan dilakukan dengan menerapkan sistem sekat bakar sebagai upaya pencegahan penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Namun pada beberapa kasus tertentu, celah aturan itu justru dimanfaatkan dan ditunggangi oleh oknum pembakar hutan dan lahan tertentu untuk lolos dari jerat hukum.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong mengatakan penggunaan api dalam kegiatan pembersihan lahan untuk perladangan merupakan kearifan lokal masyarakat yang telah terjadi dan dipraktikkan secara turun temurun oleh masyarakat adat di Nusantara, khususnya di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.
Praktik pembakaran lahan yang dilakukan masyarakat adat, menurut dia, harus ditempatkan dalam konteks regulasi yang tepat agar kearifan lokal yang terbukti memiliki efek positif untuk membantu proses keterjaminan dan ketahanan pangan dan konservasi hayati, tidak disalahgunakan oleh oknum tidak bertanggung untuk membakar lahan secara masif yang merugikan kepentingan umum.
"Kita harus segera menyusun naskah kebijakan untuk memperbaiki dan mempertegas pengaturan pembukaan lahan dengan cara bakar ini, agar menjadi bagian solusi permanen pencegahan karhutla seperti yang diinstruksikan Bapak Presiden," ujar Alue.
Kesimpulan dari FGD itu, Alue mengatakan secara umum para pembicara menyetujui jika sistem perladangan tradisional dengan teknik pembakaran oleh masyarakat adat perlu terus dilanjutkan, namun dengan catatan harus ada adaptasi, inovasi-inovasi dan teknologi agar meminimalisir dampak terhadap bencana karhutla.
Ia pun menyampaikan kesimpulan hasil diskusi yang memuat pendapat dan masukan dari peserta diskusi tersebut, di antaranya diperlukan adanya kebijakan khusus pemerintah terkait penetapan wilayah perladangan tradisional yang diintegrasikan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi/Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWP/RTRWK) pada masing-masing daerah yang masih memiliki tradisi dan mempraktikkan perladangan tradisional.
Selanjutnya perlu adanya kegiatan pemetaan wilayah berbasis tipe ekosistem (lowland andupland), inventarisasi sebaran spasial dan jumlah peladang tradisional, termasuk jenis komoditas yang dibudidayakan, teknologi serta kearifan yang dipakai di dalam praktik perladangan tradisional, dalam rangka penyusunan basis data (data base) yang lengkap dan sahih terkait perladangan tradisional.
Kemudian perlu adanya peningkatan dan penguatan program dan anggaran, pemberdayaan, introduksi dan alih teknologi pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB), akses kelola hutan, pendampingan intensif dari pemerintah, swasta dan lainnya yang lebih berpihak pada kelompok peladang tradisional.
Berikutnya perlu dukungan dan pembuatan petunjuk-petunjuk teknis dan prosedur operasi standar (SOP) tentang pengolahan dan peningkatan produktivitas lahan agar diintroduksi dan diaksentuasikan kepada peladang tradisional. Perlu juga ada eksaminasi keseluruhan produk hukum yang terkait dengan kebakaran hutan dan lahan, serta bagaimana implementasinya di lapangan oleh para pihak.
Kegiatan perladangan tradisional selama ini diharapkan tidak dimaknai secara sempit untuk budi daya padi semata, melainkan kegiatan tersebut berkontribusi positif terhadap konservasi dan keragaman genetik, kultur pertanian dan bagian jati diri budaya bangsa, kekayaan intelektual tradisonal yang seyogianya diproteksi dan diakomodasi serta tidak dapat dihilangkan atau dimusnahkan begitu saja.
Terakhir, harapannya agar sistem dan tata cara praktik serta implementasi perladangan tradisional dapat disesuaikan, dimodifikasi, dan diperkuat dengan pengaturan yang bersifat teknis-ekonomis dengan memperhatikan dinamika perubahan iklim, ruang dan waktu, dinamika sosial, teknologi serta perkembangan populasi juga menjadi hasil dari diskusi.
Alue mengatakan akan membentuk tim khusus untuk menyusun narasi kebijakan terkait perladangan tradisional tersebut. Masukan dari berbagai pihak akan bermanfaat untuk memperkuat narasi kebijakan yang akan disusun , sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan yang baik pemerintah pusat dalam menelurkan kebijakan terkait yang menjadi bagian dari upaya membentuk sistem pencegahan karhutla secara permanen.