REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tren penambahan kasus positif Covid-19 yang terus menanjak hingga akhir Juli 2020 ini membuat urgensi produksi vaksin ikut bertambah. Apalagi mengacu pada data per Ahad (26/7), jumlah konfirmasi kasus positif di Indonesia telah menyentuh 98.778 orang.
Artinya, sedikit lagi Indonesia akan mencatatkan kasus konfirmasi positif sebanyak 100.000 orang. Kondisi ini membuat Lembaga Biologi Molekuler Eijkman mempercepat langkah untuk merampungkan penelitian terkait vaksin Covid-19.
Eijkman merupakan salah satu institusi yang ditunjuk Presiden Jokowi untuk memimpin riset terkait vaksin Covid-19. Selepas riset rampung, produksi vaksin akan dilakukan oleh Bio Farma.
Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Prof. Amin Soebandrio, mengungkapkan sampai saat ini progres persiapan vaksin Covid-19 baru menyentuh 30 persen. Kendati angkanya terbilang masih rendah, Amin menyebutkan bahwa progres yang sudah dijalani ini justru merupakan pondasi atau dasar dari tahapan riset selanjutnya.
"30 persen itu adalah kalau kita bikin rumah, kita bikin pondasinya dulu bagian terpenting. Biasanya setelah pondasi selesai ke depan akan lebih cepat," kata Amin, Ahad (26/7).
Eijkman diberi batas waktu sampai Maret 2021 untuk merampungkan riset terkait vaksin Covid-19. Terkait batas waktu yang diberikan pemerintah ini, Amin optimistis bisa menepatinya.
Bahkan, ia yakin produksi vaksin atas prakarsa Eijkman bisa dilakukan setidaknya Februari 2021 mendatang. "Insya Allah bisa lebih cepat. Tapi ya tidak lebih cepat 6 bulan juga, agak sulit. Tapi kami berupaya proses yang bisa diperpendek akan kami lakukan. Tapi terkait dengan tumbuhnya sel dan virus tak bisa dipercepat," jelasnya.
Untuk saat ini, riset vaksin Covid-19 yang dijalankan Eijkman sudah sampai proses pengembangan antigen, berupa protein rekombinan. Protein ini mewakili protein spike atau protein S dan protein N atau nucleocapsid yang menjadi sasaran vaksin.
"Karena dua mekanisme itu adalah dua mekanisme yang harus diblok oleh antibodi," jelas Amin.
Berbeda dengan vaksin yang diimpor dari China
Vaksin yang dikembangkan oleh Eijkman berbeda dengan vaksin yang dikembangkan oleh Bio Farma bersama produksi vaksin asal China, Sinovac Biotech Ltd. Amin pun menjelaskan perbedaan mendasar antara vaksin yang dikembangkan oleh Sinovac-Bio Farma dan Eijkman-Bio Farma.
"Bedanya adalah di platform. Vaksin Sinovac menggunakan virus utuh, mereka mengkultur virusnya, kemudian setelah diperoleh virus dalam jumlah besar kemudian virusnya dimatikan dengan bahan kimia. Kemudian ya setelah dibersihkan, langsung bisa dipakai. Ya makanya prosesnya lebih cepat," jelas Amin.
Sementara vaksin yang dikembangkan oleh Eijkman tidak menggunakan virus utuh, melainkan hanya menyasar dua jenis protein yang memang menjadi sasaran. Eijkman melakukan isolasi terhadap dua jenis protein yang diperlukan, yakni Protein S dan N. Kedua protein inilah yang akan digunakan dalam vaksin nanti.
Vaksin dalam negeri lebih menguntungkan
Amin beranggapan, vaksin yang diproduksi di dalam negeri dengan hasil riset yang sepenuhnya dilakukan di dalam negeri lebih menguntungkan ketimbang impor. Vaksin yang benar-benar dikembangkan di Indonesia, dia mengatakan, akan terbebas dari biaya-biaya tambahan seperti beban paten.
"Kemudian kita lebih memiliki kepastian tentang kapasitas produksi karena semuanya dalam kendali Indonesia," jelasnya.
Di luar penelitian vaksin yang masih terus berlanjut, Amin meminta masyarakat benar-benar tetap menjalankan protokol kesehatan demi menekan penularan virus corona. Menurutnya, adanya vaksin pun tak lantas membuat masyarakat bisa terbebas dari protokol kesehatan yang ketat.