REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam mengimbau publik untuk tidak melupakan catatan sejarah. Dia lantas bercerita bagaimana cara rezim saat itu menjalankan kekuasaan mereka selama tiga dekade.
Dia mengatakan, saat itu represi terhadap lawan politik dilakukan sejak rezim mulai menancapkan cengkeraman di pusat kekuasaan politik Indonesia. Dia mengatakan, hal itu ditandai dengan pembredelan koran-koran yang memberitakan peristiwa 1965.
"Represi juga ditandai dengan pembredelan sejumlah media massa kecuali koran militer sejak Oktober 1965," kata Asvi dalam keterangan, Senin (27/7).
Dia mengatakan, sejak awal represi sudah dilakukan oleh orba dan itu berlanjut terus sepanjang 30 tahun. Asvi mengungkapkan, rezim saat itu juga tidak menghendaki adanya oposisi dalam upaya melanggengkan kekuasaan.
Dia mengungkapkan bahwa di sekitar tahun 1980 ada tiga anak muda di Yogyakarta dihukum penjara lebih dari lima tahun karena menjual buku karangan Pramoedya Ananta Toer. Buku tersebut dinyatakan dilarang oleh pemerintah saat itu.
Sementara dalam kasus PDI, Asvi mencatat ada kenaikan perolehan suara partai tersebut dalam pemilu terutama sejak tahun 1987 hingga 1992. Lanjutnya, kenaikan suara terjadi lantaran kampanye yang dilakukan dua anak Soekarno yakni Megawati Soekarnoputri dan Guruh Soekarnoputra sejak 1987.
Dia mengatakan, puncak dari akumulasi keresahan rezim terjadi saat merekayasa perpecahan di internal PDI antara kubu Soerjadi dan Megawati. Katanya, perpecahan internal yang direkayasa akhirnya semakin menghangat pada Juli 1996.
Dia mengatakan, kubu pro Megawati menggelar mimbar demokrasi selama tiga pekan berturut-turut di depan kantor PDI di Jalan Diponegoro. "Mimbar demokrasi yang mengkritik pemerintah secara terbuka ini sangat menakutkan bagi rezim. Kemudian terjadilah peristiwa 27 Juli 1996," katanya.