REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Direktur atau Komisaris PT Sharleen Raya (JECO Group) Hong Artha John Alfred akhirnya resmi ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah menjalani pemeriksaan sebagai tersangka pada Senin (27/7). Hong Artha diketahui telah menyandang status tersangka sejak 2 Juli 2018.
Hong Artha merupakan tersangka ke-12 dalam kasus terkait pelaksanaan pekerjaan dalam program pembangunan infrastruktur di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tahun anggaran 2016. Sebelumnya KPK telah menetapkan 11 orang lainnya sebagai tersangka.
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar mengatakan, Hong Artha ditahan selama 20 hari pertama. Penahanan terhitung sejak tanggal 27 Juli 2020 sampai dengan tanggal 15 Agustus 2020 di Rutan Klas I Jakarta Timur Cabang KPK di Gedung Merah Putih.
"Sebelum dilakukan penahanan, tersangka HA sudah menjalani protokol kesehatan dalam rangka mitigasi penyebaran wabah Covid 19," kata Lili di Gedung KPK Jakarta, Senin (27/7).
Dalam melengkapi berkas perkara Hong Artha, KPK telah meminta keterangan sebanyak 80 orang saksi. Dari para saksi, penyidik mendapatkan fakta-fakta yang didukung dengan alat bukti berupa keterangan saksi, surat dan barang elektronik bahwa tersangka Hong Artha dan kawan-kawan diduga memberikan uang kepada sejumlah pihak.
Adapun 11 orang tersangka sebelumnya terdiri dari 5 orang anggota DPR-RI, 1 Kepala Badan, 1 Bupati dan 4 swasta. Mereka adalah Damayanti Wisnu Putranti dari Fraksi PDIP, Budi Supriyanto dari Fraksi Golkar dan Andi Taufan Tiro dari Fraksi PAN.
Kemudian mantan Bupati Halmahera Timur 2016-2021 Rudi Erawan, Kepala BPJN IX Maluku dan Maluku Utara Amran HI Mustari, Abdul Khoir serta dua rekan Damayanti, Dessy A Edwin dan Julia Prasetyarini.
Dalam perkara ini, Hong Artha diduga memberikan suap untuk Amran selaku Kepala BPJN IX Maluku dan Maluku Utara sebesar Rp 8 miliar pada Juli 2015 dan Rp 2,6 miliar pada Agustus 2015. Kemudian Damayanti Wisnu Putranti selaku Anggota DPR RI periode 2014 – 2019 sebesar Rp1 miliar pada November 2015.
"Pemberian-pemberian tersebut diduga terkait pekerjaan proyek infrastruktur pada Kementerian PUPR tahun anggaran 2016," kata Lili.
Dalam kasus itu, Amran telah divonis 6 tahun penjara dan denda Rp800 juta subsider 4 bulan kurungan karena menerima Rp 2,6 miliar, Rp 15,525 miliar, dan 202.816 dolar Singapura.
Selain itu, Damayanti juga telah divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan karena terbukti menerima 278.700 dolar Singapura dan Rp 1 miliar.
Atas perbuatannya Hong Artha disangkakan melanggar melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.