Rabu 29 Jul 2020 20:26 WIB

Parlemen Turki Sahkan UU Media Sosial yang Kontroversial

UU Media Sosial Turki dikhawatirkan mengikis kebebasan berekspresi

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Bendera Turki di jembatan Martir, Turki
Foto: AP
Bendera Turki di jembatan Martir, Turki

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Parlemen Turki meratifikasi undang-undang (UU) tentang media sosial, Rabu (29/7) waktu setempat. Undang-undang disahkan oleh Partai Keadilan dan Pembangunan (AK) yang berkuasa yang dipimpin Presiden Recep Tayyip Erdogan, dan anggota parlemen Partai oposisi Partai Gerakan Nasionalis (MHP).

Dilansir Anadolu Agency, anggota parlemen juga menyetujui mosi yang membuat parlemen reses hingga 1 Oktober. Berdasarkan UU baru yang disetujui pada Rabu, raksasa media sosial seperti Facebook dan Twitter harus memastikan mereka memiliki perwakilan lokal di Turki.

Baca Juga

Perusahaan media sosial juga diwajibkan mematuhi perintah pengadilan atas penghapusan konten tertentu. Undang-undang mendefinisikan entitas nyata atau hukum, yang memungkinkan pengguna untuk membuat, memantau atau berbagi konten online seperti teks, visual, suara, dan lokasi untuk interaksi sosial, sebagai penyedia jaringan sosial.

Penyedia jaringan sosial berbasis asing yang memiliki lebih dari 1 juta pengunjung setiap hari di Turki akan menugaskan setidaknya satu perwakilan di negara tersebut. Informasi kontak orang itu akan dimasukkan di situs web dengan cara yang jelas dan mudah diakses.

Jika perwakilan akan menjadi entitas nyata, bukan entitas hukum, itu harus warga negara Turki. Penyedia jaringan sosial juga akan memiliki waktu 48 jam menanggapi pesanan untuk menghapus konten yang menyinggung.

Penyedia layanan media sosial juga akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menyimpan data tentang pengguna di Turki di dalam negara. Berdasarkan aturan baru, perusahaan media dapat dikenai denda administratif untuk penyedia yang gagal memenuhi kewajiban akan dinaikkan untuk mendorong kepatuhan. Perusahaan dapat menghadapi denda, pemblokiran iklan atau bandwidth yang terpotong hingga 90 persen, pada dasarnya memblokir akses.

Sebelumnya, denda antara 10 ribu hingga 100 ribu lira Turki (1.500 dolar AS - 15 ribu dolar AS). Namun kini jumlahnya naik antara 1 juta - 10 juta lira (146.165 dolar AS - 1.461.650 dolar AS).

Para pemimpin Turki telah lama mendorong reformasi itu untuk pengaturan konten di media sosial. Pemerintah juga mendesak masalah itu setelah penghinaan terhadap anggota keluarga diposting secara online.

Kelompok-kelompok hak asasi manusia dan oposisi khawatir atas apa yang mereka sebut erosi kebebasan berekspresi di Turki. Prosess pidana untuk "menghina" Presiden Recep Tayyip Erdogan di media sosial adalah hal biasa.

Mereka berpendapat bahwa peningkatan kontrol media sosial juga akan membatasi akses ke informasi independen atau kritis di negara di mana media berita berada di tangan pengusaha yang ramah pemerintah atau dikendalikan oleh negara. "Kenapa sekarang?" tanya Yaman Akdeniz, profesor di Universitas Bilgi Istanbul dan juga pakar hak siber dikutip laman Aljazirah, Rabu (29/7).

"Sementara platform media cetak dan siaran sudah di bawah kendali pemerintah, jejaring sosial relatif bebas. Jejaring sosial telah menjadi salah satu dari sedikit ruang untuk berekspresi bebas dan efektif di Turki," ujarnya menambahkan.

Human Rights Watch menyatakan keprihatinannya bahwa UU akan memungkinkan pemerintah mengontrol media sosial, menghapus konten sesuka hati, dan secara sewenang-wenang menargetkan pengguna individu.

"Media sosial adalah garis hidup bagi banyak orang yang menggunakannya untuk mengakses berita, jadi undang-undang ini menandakan era gelap baru sensor online," ujar Tom Porteous, wakil direktur program di kelompok yang berbasis di AS.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement