REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA
Pahala puasa Arafah itu spektakuler. Nabi SAW bersabda, “Puasa pada hari Arafah menebus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” (HR. Ahmad). Sebegitu besar pahalanya, tentu ada peristiwa akbar yang melatarbelakanginya yang perlu dikaji. Tujuannya, agar puasa Arafah tidak hanya jadi doktrin agama, tapi juga fakta sejarah.
Dalam sejarah, hari Arafah sempat membuat iri hati orang Yahudi. Hal ini terungkap dari isi hati orang Yahudi kepada Umar bin Khattab. “Ada ayat dalam kitab kalian yang kalian membacanya dan seandainya ayat tersebut turun di tengah-tengah orang Yahudi, tentu kami akan menjadikannya sebagai hari raya.
Umar bertanya, “Ayat apakah itu?” Ia menjawab, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu”. Umar berkata, “Kami tahu hal itu yaitu hari dan tempat dimana ayat itu turun kepada Nabi SAW. Beliau berdiri di Arafah pada hari Jumat.” (HR. Bukhari).
Ayat di atas adalah surah al-Maidah ayat 3. Ayat ini adalah ayat yang paling terakhir kali turun kepada Nabi SAW. Sebegitu besarnya hikmah ayat tersebut yang turun di Arafah pada hari Jumat sehingga orang Yahudi berkeinginan untuk menjadikannya sebagai hari raya bagi agama mereka. Jadi tidak berlebihan kalau kita memperingatinya dengan berpuasa.
Berikutnya, puasa Arafah berkait erat dengan peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim. Seperti kita telah maklum pada 8 Zulhijjah, Nabi Ibrahim mendapat perintah dalam mimpi untuk menyembelih Nabi Ismail. Baru pada 9 Zulhijjah inilah Nabi Ibrahim mendapat pengetahuan untuk menginterpretasikan ihwal mimpi tersebut.
Peristiwa tersebut kemudian dikenal dengan hari Arafah. Maksudnya, hari dimana Nabi Ibrahim tahu (arafa) cara untuk menafsirkan mimpinya dan melaksanakannya sesuai perintah Allah SWT. Tentu hari Arafah ini bagi Nabi Ibrahim menjadi hari yang sangat menegangkan. Maka untuk memperingatinya, sangat pantas bagi kita untuk berpuasa.
Dalam yurisprudensi haji, hari Arafah adalah hari kedua dalam prosesi ibadah haji. Itu artinya, puasa Arafah dilaksanakan bertepatan dengan saat jamaah haji melakukan ibadah wukuf di Padang Arafah yang begitu berat. Sudah sepantasnya bagi kita yang berada di Indonesia untuk menunaikan puasa Arafah pada hari ini.
Secara filosofis, wukuf di Padang Arafah sendiri adalah momen dimana manusia tak lagi melulu harus mendepankan kekuatan akal, sebab wukuf adalah miniatur Padang Mahsyar. Wukuf di Arafah harus dipahami dengan kecerdasan spiritual yang menghantarkan manusia pada kesadaran eksistensial, dari mana berasal dan akan ke mana nanti.
Sementara bagi yang berpuasa Arafah, secara intrinsik dan ekstrinsik, diharapkan dapat mengetahui dirinya sebagai makhluk yang bergelantungan di kaki langit Allah SWT. Kalau bukan karena kehendak-Nya manusia tidak pernah ada dan merasakan nikmatnya berasyik-masyuk dalam berbagai bentuk ibadah yang disyariatkan-Nya.
Terakhir, dengan mengetahui hakikat diri sendiri, hakikat Zat Allah SWT, dan misi manusia di bumi, maka puasa Arafah tak lagi jadi pantas diharapkan pahalanya. Sebab sejatinya, puasa Arafah itu sendiri adalah anugerah-Nya, maka pantaskah kita meminta pahala dari anugerah yang telah dibenamkan di dada kita itu?