REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Nama lengkap Imam Al-Ghazali adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Abu Hamid at-Thusi as-Syafi'i.
Sang Imam lahir di Kota Thus pada tahun 450 Hijriyah dan meninggal di kota yang sama pada 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriyah pada usia 55 tahun. "Yang unik dalam diri Imam Al-Ghazali adalah posisinya yang merupakan seorang ahli fiqih, namun sekaligus juga ahli tasawuf," kata Ustaz Wildan Jauhari Lc dalam bukunya berjudul Hujjatul Islam al-Imam al-Ghazali terbitan Rumah Fiqih Publishing.
Ustadz Wildan mengatakan, biasanya dalam keseharian sering menyaksikan bagaimana para pengikut dua cabang ilmu keislaman ini saling menonjolkan diri masing-masing.
Mereka yang belajar hanya ilmu fiqih, sering kali memandang rendah para pembelajar ilmu
tasawuf. Sebaliknya, mereka yang berkonsentrasi dengan tasawuf, kadang suka melalaikan hukum-hukum fikih.
Dikotomi semacam ini seharusnya tidak perlu terjadi, kalau bisa memahami bahwa kedua anak cabang ilmu itu sesungguhnya merupakan anak kandung dari induk ilmu-ilmu keislaman yang sebenarnya tetap satu.
Maka tokoh Imam Al-Ghazali ini bisa dijadikan sosok teladan bagaimana aliran ilmu fikih dan tasawuf dapat menyatu, saling menguatkan dan saling membela. Bukan saling menjatuhkan dan saling memusuhi.
Perbedaan pandangan antara fuqaha (ahli fiqih) dengan kalangan ahli tasawuf terus berlanjut hingga masa hidup Imam Al-Ghazali berakhir.
Menghadapi kenyataan yang demikian, Imam Al-Ghazali melalui Ihya (Ihya Ulumuddin) berhasil menawarkan jalan tengah bahwa tasawuf dan fikih sama-sama penting bagi umat Islam.
Imam Al-Ghazali bergelar Hujjatul Islam, salah satunya karena beliau punya jasa yang amat besar dalam memberikan argumen (hujjah) baik lewat dalil akal atau naqli. Keduanya berjalin berkelindan dengan rapi dan saling menguatkan ibarat simpul-simpul temali yang terikat dengan benar. Mengalahkan sekian banyak argumen kalangan, termasuk argumen para filsuf sekular anti-Tuhan.