Ahad 02 Aug 2020 15:27 WIB

'Beli Kebutuhan Pokok Lebih Penting daripada Beli Bendera'

Penurunan omzet penjualan bendera tiga tahun terakhir ini dan paling parah tahun 2020

Rep: Muhammad Ubaidillah/ Red: Bilal Ramadhan
Pedagang bendera di Koja, Jakarta Utara, sedang menunggu pembeli, Ahad (2/8).
Foto: Muhammad Ubaidillah
Pedagang bendera di Koja, Jakarta Utara, sedang menunggu pembeli, Ahad (2/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hari Kemerdekaan 17 Agustus (Agustusan) menjadi salah satu momen bagi penjahit dan penjual bendera untuk meraup untung. Menjelang perayaan Agustusan, mereka banyak menerima pesanan bendera. Saat pandemi Covid-19 sekarang, permintaan menurun.

Penjahit di depan Pasar Sinar, Jalan Lagoa Terusan, Kelurahan Lagoa, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, Astomo Hardi mengatakan saat ini dirinya belum menerima pesanan bendera. Namun ia tetap menjual bendera karena momen Agustusan sudah dekat. Bendera-bendera yang ia jual berasal dari penjahit lain.

Hardi melanjutkan sudah lima hari menjual bendera. Uang yang didapat baru Rp 100 ribu. Berbeda dengan tahun lalu, di lima hari pertama dirinya bisa meraup uang Rp 500 ribu.

"Sekarang sepi, orang masih pada mikir beli kebutuhan pokok yang lebih penting. Kalau ini (bendera) kan enggak beli juga enggak apa-apa. Karena sepi, saya ambil dari teman aja stoknya, kalo (pesanan) banyak saya buat sendiri (benderanya)," kata Hardi, Ahad (2/8).

Sama halnya dengan Hardi, penjual bendera di depan Jakarta Islamic Center, Jalan Kramat Raya, Kelurahan Tugu Utara, Koja, Jakarta Utara, Kuat juga mengeluhkan sepinya pembeli bendera di tahun ini. Menjelang perayaan kemerdekaan Indonesia, setiap tahun Kuat menjual bendera dan umbul-umbul.

Menurut Kuat, keadaan tahun ini paling sepi karena omzetnya hanya Rp 100 ribu sehari, jika normal dirinya bisa mendapat Rp 1 juta. Keseharian Kuat menjual makanan ringan dan mainan anak di Sekolah Dasar (SD) Tugu Utara 05. Sekarang sekolah tutup, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Kuat mengandalkan pemberian dari anak-anaknya.

"Sekarang mau Agustusan, saya tiap tahun jual bendera. Kemarin-kemarin di rumah saja, karena sekolah kan tutup. Alhamdulillah anak-anak saya pada ngasih (kebutuhan sehari-hari)," kata Kuat saat ditemui di lapaknya, Ahad (2/8).

Kuat menceritakan penurunan omzet sudah terjadi tiga tahun terakhir, namun tahun ini yang paling parah. Selama menjual bendera, dirinya pernah meraup untung hingga Rp 5 juta sehari. Namun ini sudah lama terjadi, saat kepemimpinan Presiden Soeharto. "Sekarang mah kadang enggak laku," keluh Kuat.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement