Rabu 05 Aug 2020 03:56 WIB

Abu al-Hasan al-Amiri, Sang Filsuf

Abu al Hasan al Amiri adalah seorang filsuf Muslim.

Rep: Ferry Kishihandi/ Red: Muhammad Hafil
Abu al-Hasan al-Amiri, Sang Filsuf
Foto: students.ou.edu
Abu al-Hasan al-Amiri, Sang Filsuf

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Filsafat mengalami perkembangan pesat di dunia Islam. Filsuf bertebaran silih berganti dalam menyampaikan pemikirannya. Mereka merenungkan alam seiring dengan upaya mendalami Alquran, mengenai alam dan kehidupan. Salah satu sosok filsuf yang lahir di dunia Islam adalah Abu al-Hasan al-Amiri.

Baca Juga

Filsuf ini bernama lengkap Abu al-Hasan Muhammad al-Amiri. Ia dikenal pula dengan nama Abu al-Hasan bin Abi Dzarr. Ia lahir di Nisabhur, Persia pada permulaan abad ke-10 Masehi. Ia tak hanya mendalami olah pikir melalui filsafat. Namun, ia pun mengimbanginya dengan olah jiwa melalui sufisme.

Al-Amiri menguasai filsfasat setelah belajar dari Abu Zaid Ahmad bin Sahl al-Balkhi. Ketertarikannya pada ilmu ini membawanya ke dalam pengembaraan. Ia memang berharap menemukan pengetahuan sejati dan pencerahan dengan mendalami filsafat. Tekadnya itu membawa langkahnya ke Baghdad, Irak.

Di Ibu Kota pemerintahan Dinasti Abbasiyah itu, al-Amiri menjadi guru. Ia tak hanya memberi ilmu, tetapi juga terus menimbanya. Tak heran jika ia sering terlihat di majelis ilmu dan diskusi ilmiah. Salah satunya adalah majelis yang diselenggarakan oleh cendekiawan yang bernama Abu Hamid al-Marwarrudzi.

Pada sebuah kesempatan saat mengunjungi Madinah, ia ikut dalam pertemuan antarfilsuf Muslim. Di sana, sejarawan al-Tauhidi mencatat sebuah perdebatan yang cukup terkenal antara al-Amiri dan Abu Said al-Sirafi. Di sisi lain, ia mempelajari banyak buku filsafat yang ditulis pemikir Yunani dan India.

Pada masa-masa selanjutnya digunakan al-Amiri untuk menuliskan pemikiran-pemikirannya lewat karya. Al-Amiri, misalnya, menyusun risalah berisi komentar kritis terhadap karya Aristoteles. Buku Renesains Islam yang ditulis Joel L Kraemer menyebut al-Amiri tertarik dengan dunia sufi.

Bahkan, beberapa subjek bahasan para sufi dituangkan dalam tulisan filsafatnya. Kraemer menyebutkan salah satu karya al-Amiri yang  berjudul Al-Nask al-Aqli. Al-Amiri menekankan tentang esensi kemahasempurnaan pencipta. Pada bagian lain, ia menyampaikan gagasannya soal kaidah kebijaksanaan.

Menurut al-Amiri, kebijaksanaan hendaknya lebih menonjol dalam perbuatan-perbuatan, bukan dalam kata. Seseorang yang kurang bijak dikatakan akan lebih menuntut hak daripada menjalankan kewajiban. Dengan pijakan pemikiran semacam itu, ia mengaku sangat prihatin dengan perilaku kurang bijak dari sebagian kalangan.

Al-Amiri juga menjadi magnet. Banyak cendekiawan yang tertarik pada pemikirannya. Sejarawan al-Tauhidi menyebutnya sebagai orang yang kompeten dalam bidangnya. Ini dibuktikan melalui buku yang berjudul Inqadz al-Basyar min al-Jabr wa al-Qadr. Buku ini menjadi rujukan penting.

Beberapa catatan sejarah menyebutkan bahwa ilmuwan ternama al-Razi pernah mempelajari buku tersebut. Di dalamnya, al-Amiri menyempatkan diri menggambarkan sosok filsuf ideal. Dalam Al-Nask al-Aqli, al-Amiri berusaha meluruskan pandangan tentang filsuf yang pada saat itu beredar di tengah masyarakat.

Filsuf dianggap masyarakat sebagai seorang yang terpaksa hidup mengasingkan diri dari masyarakat dan nilai-nilainya. Hal itu ia nilai justru dapat membahayakan hidupnya. Dalam konteks ini, ia sepaham dengan Ibnu Miskawaih. Filsuf, jelas al-Amiri, tak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat.

Dalam pandangan al-Amiri, filsuf hanya akan menemukan kesempurnaan saat berada di tengah masyarakat. Itu karena, dengan berinteraksi dalam masyarakat, mereka dapat berkontribusi dalam memperbaiki kondisi masyarakat dengan kemampuan yang dimilikinya. Pada buku lainnya, Al-Sa'adah wa al-Is'ad, ia memberikan penjelasan lebih lanjut.

Ketika filsuf dijauhkan dari masyarakat, kehidupannya tak lagi berarti. Pada bagian lain dari bukunya itu, ia merumuskan tafsir mengenai kebahagiaan. Ia mengatakan, kebahagiaan merupakan bentuk kesempurnaan manusia. Tindakan-tindakan manusia yang dijalankan dengan ikhlas menjadi jembatan mencapai kebahagiaan.

Mengutip risalah Plato dalam Ethics, muncul gagasan al-Amiri mengenai kebahagiaan intelektual. Hal ini bisa dicapai dengan mengkaji ilmu pengetahuan. Berpijak pada pandangan ini, ia mengatakan bahwa perkembangan ilmu seperti matematika, fisika, dan astronomi merupakan hal yang penting. Sebab, besar manfaatnya bagi umat manusia.

Sufisme

Seperti disebutkan Joel L Kraemer, al-Amiri mendalami sufisme. Ia mengutip uraian yang disampaikan sejarawan abad ke-10 Masehi, Abbu Hayyan. Cendekiawan ini melukiskan al-Amiri sebagai seorang syekh, filsuf, serta penjelajah yang mengembara ke berbagai negara dan berusaha mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.

Hayyan mengungkapkan, al-Amiri merupakan tipe sufi yang berpindah-pindah. Ia berbeda dengan sufi lainnya yang biasa menetap di suatu tempat. Selama masa pengembaraan, al-Amiri banyak melakukan perenungan. Ia kemudian berbagi pemikiran hasil renungannya dengan orang lain.

Tentang dunia, al-Amiri menegaskan bahwa itu hanya bersifat sementara. Ia mencontohkan, setiap raja tidak kekal memegang kekuasaan dan akan mati, kecuali Tuhan yang Mahakekal, demikian halnya dengan kesenangan. Menurut dia, kecuali kesenangan di surga, kesenangan lain dapat begitu saja berlalu.

Al-Amiri berharap pemikiran-pemikirannya mengilhami masyarakat untuk hanya bersandar pada perlindungan Tuhan. Menyadari kelalaian yang dilakukan dan berusaha terlepas dari kesenangan duniawi. Ia menambahkan, hal ini bukan berarti manusia harus mencampakkan dunia.

Menjelang akhirnya hayatnya, filsuf ini kembali ke kampung halamannya di Nisabhur. Ia meninggal dunia di tanah kelahirannya pada 6 Januari 992 Masehi. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement