jatimnow.com - Warga Desa Pesanggrahan, Kecamatan/Kota Batu bersama Pengurus Himpunan Petani Pemakai Air (Hippa) dan Himpunan Pemakai Air Minum (Hipam) mendatangi proyek pembangunan wisata Alas Kasinan (Alaska).
Bersamaan dengan selamatan desa, mereka datang dengan berjalan kaki menuju Alaska pada Selasa (4/8) pagi. Mereka menuntut pembangunan dan operasional Alaska di Dusun Srebet dihentikan.
Pengurus Hipam Mayangsari, Abdul Mutholib menyebut, awalnya pengelola Alaska fokus ke konservasi alam. Namun pada 2019, Alaska mengubah fungsi hutan lindung menjadi obyek wisata alam.
Faktanya, lanjut Mutholib, di lokasi ada pemotongan bambu dan kayu. Padahal di sana merupakan sumber resapan permukaan hasil penghijauan. Jika sampai terjamah, sumber pasti terancam. Sehingga menyebabkan ketersediaan air bisa hilang. Belum lagi adanya bangunan permanen.
"Harusnya jika mengacu aturan UU tidak boleh ada bangunan atau kegiatan apapun sekitar 100 meter dari areal sumber. Areal sumber harus dijaga bersama demi mengembalikan fungsi hutan Kasinan seperti semula, tidak ada tegakan bangun beton permanen, pemotongan pohon serta bambu," terang Mutholib.
Menurutnya, adanya pembangunannya dan alih fungsi lahan itu membuat masyarakat khawatir bakal merusak sumber yang ada di Alas Kasinan. Sekarang saja distribusi air sudah berpengaruh, debit air sudah mengecil. Jika sampai 2-5 tahun ke depan bisa dipastikan habis.
Masyarakat sepakat jika sampai tidak ada ketegasan akan berkoordinasi dengan aktivis alam seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Kemudahan melaporkan masalah ini ke Perhutani Jatim hingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemen LHK).
"Makanya dalam selamatan desa ini kami sampaikan juga aspirasi dan keinginan warga jika tidak berkenan dengan adanya Alaska," tambahnya.
Sementara Ketua Himpunan Hipam seluruh Desa Pesanggrahan, Achmad Machrus menyatakan, jika memang konservasi, tidak boleh ada aktivitas. Apalagi bakal menjadi tempat wisata yang mendatangkan banyak pengunjung. Belum lagi di sana ada pemotongan pohon hingga pembangunan permanen.
"Beberapa dampak yang ditimbulkan, seperti pencemaran lingkungan, ketersediaan air berkurang dan mengundang bencana kemudian hari. Pembangunannya itu satu wilayah dengan sumber, pastilah bakal mencemari sumber," jelasnya.
Masih kata Machrus, bila jadi wisata bakal dikunjungi banyak orang dan pasti volume sampahnya juga meningkat.
Machrus menceritakan, gejolak ini bermula akibat banyaknya keluhan dari warga yang menggunakan air dari Hipam. Warga mengaku debit air yang mengalir ke rumahnya mengecil. Lalu dari 7 pengelola hipam menyampaikan hal yang sama. Setelah itu pengurus langsung meneruskan keluhan ke Pemerintah Desa Pesanggrahan.
Selanjutnya desa memfasilitasi mediasi semua pihak, baik hipam, pengelola Alaska dan perwakilan warga. Mediasi berlangsung dua kali. Pertama tidak ada hasil, kedua baru ada pembentukan tim pansus beranggotakan LMDH, Hipam dan Hippa.
"Desa pun berharap ada penghentiaan pembangunan, tapi nyatanya terus berjalan. Kalau alasan pengelola kenapa terus membangun ya karena sudah mengantongi izin," bebernya.
Menanggapi itu, Pengurus Alaska Gigih Abdilah menjelaskan, awal mula adanya wisata Alaska untuk mengembangkan wisata dan bisa memberikan dampak ekonomi bagi warga sekitar. Ia pun mengaku sudah mengantongi Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan KPH Perhutani Malang serta izin lainnya.
Kemudian setelah adanya kunjungan wisata, tiba-tiba muncul permasalahan. Isu terkait pembangunan mengurangi debit air di sumber, menurutnya kurang benar.
"Lha apakah pengelola Hippa dan Hipam sudah memperhitungkan debit air, karena terus bertambahnya konsumen sehingga air mengecil. Kami tegaskan jika Alaska tidak memanfaatkan air sumber atau hutan. Bahkan setelah ada gejolak, kami sudah mendatangi paguyuban pengelola air satu persatu sesuai arahan kepala desa dan kami akomodir keinginan mereka. Intinya sama-sama menjaga area tersebut," jelas Gigih.
Reporter: Galih Rakasiwi