REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) DPRD Surabaya menolak rencana pembukaan sekolah untuk jenjang sekolah menengah pertama (SMP). Mereka beralasan, risiko penularan Covid-19 di Ibu Kota Provinsi Jawa Timur masih tinggi.
"Batalkan saja rencana tersebut, Surabaya belum siap untuk membuka kembali sekolah," ujar Ketua Fraksi PSI William Wirakusuma di Surabaya, Selasa (4/8).
William mengatakan, dalam mengambil sebuah kebijakan sebaiknya berdasarkan beberapa pertimbangan ilmiah tidak hanya data tingkat kesembuhan, tapi juga pertimbangan lainnya. Misalnya, indeks persepsi resiko masyarakat, apalagi ini menyangkut keselamatan anak-anak.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Laporcovid19.org bekerja sama dengan Nanyang Technology (NTU) posisi sampai dua pekan lalu nilai indeks persepsi risiko Surabaya masih di angka 3,42. Idealnya indeks persepsi risiko di suatu daerah atau wilayah harus mencapai di atas 4,00 untuk bisa melakukan pelonggaran sosial.
Atas pertimbangan inilah, William menilai Surabaya masih jauh dari siap untuk melakukan pelonggaran beberapa sektor publik yang rentan penularan termasuk sekolah.
"Tingkat kesembuhan memang bertambah, namun awareness tentang risiko atau bahaya virus corona masih kurang. Jangan mempertaruhkan keselamatan anak-anak," ujarnya.
Kepala Bidang Sekolah Menengah Dinas Pendidikan (Dispendik) Kota Surabaya Sudarminto sebelumnya mengatakan pihaknya telah menggelar simulasi terkait rencana proses belajar mengajar (PBM) di sekolah untuk siswa SMP. Untuk tahap awal, kata dia, simulasi PBM akan dimulai di 21 SMP baik itu swasta maupun negeri yang mewakili lima wilayah sekolah di Surabaya sebagai pilot project.
"Namun, sebelum PBM di sekolah diputuskan, terlebih dahulu masing-masing sekolah itu melaksanakan simulasi terkait protokol kesehatan," katanya.
Ia mencontohkan simulasi protokol kesehatan PBM yang berlangsung pada Senin (3/8) ini di SMPN 15 dan SMPN 3 Surabaya. Simulasi yang berlangsung di kedua sekolah tersebut, diperankan oleh karyawan serta para guru.
Menurut dia, sebelum PBM di sekolah diputuskan, masing-masing sekolah yang ditunjuk sebagai pilot project itu menyerahkan Standar Operasional Prosedur (SOP) protokol kesehatan. Selanjutnya, kata dia, tim dari Dispendik melakukan monitoring kesiapan di lapangan dan dilanjutkan dengan simulasi protokol kesehatan.
"Simulasi itu memberikan gambaran ketika anak (peserta didik) mulai masuk ke sekolah, proses pembelajaran di sekolah, hingga pulang ke rumah," kata Sudarminto.