REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Ketua Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo melakukan pertemuan dengan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil di Gedung Pakuan, Kamis (6/8). Dalam pertemuan ini dibahas berbagai upaya dalam menanggulangi persebaran virus corona jenis baru (Covid-19). Salah satunya mengantisipasi penyebaran di lingkungan sekolah yang rencananya akan dibuka kembali untuk kegiatan belajar mengajar (KBM).
Menurut Doni, berdasarkan data Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemendikbud-Riset Dikti) menyebut hanya ada 27 persen daerah kabupaten/kota yang masuk dalam zona hijau berdasarkan pantauan pemerintah pusat. "Kalau di Jabar ini belum ada, paling banyak hanya zona kuning," ujar Doni Monardo, Kamis (6/8).
Saat ditanya tetang keinginan Pemprov Jabar membuka kembali sekolah di zona hijau tingkat kecamatan, menurut Doni, ia mengembalikan hal tersebut ke daerah sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Karena, setiap pemerintah daerah (pemda) memiliki kebijakan tersendiri melihat kondisi penyebaran kasus Covid-19.
"Silakan untuk kepala daerah dan kepala sekolah yang memang tahu kondisinya. Kalaupun memang harus dimulai semua protokol kesehatan harus dipersiapkan," katanya.
Doni mengatakan, setiap daerah harus menyiapkan berbagai sarana sebelum membuka sekolah. Yakni, thermo gun, handsanitizer, hingga membuat tempat mencuci tangan di sejumlah sudut sekolah.
Menurutnya, kalau persiapan sekolah sudah matang dari segi fasilitas, maka setiap sekolah harus melakukan simulasi terlebih dulu. Harapannya, para siswa mulai membiasakan sekolah dengan menerapkan protokol kesehatan Covid-19.
Jangan sampai, kata dia, ketika mereka sekolah justru melakukan hal-hal yang bisa menimbulkan penyebaran virus. Apalagi selama ini siswa sudah terbiasa dengan sekolah normal sebelum adanya pandemik virus corona.
"Pra sekolah ini penting. Itu harus jadi prioritas setiap sekolah sebelum kembali normal (belajar mengajar)," katanya.
Doni mengatakan, hal yang cukup dikhawatirkan adalah ketika siswa khususnya yang berada di sekolah dasar (SD) atau sekolah menengah pertama (SMP) tidak begitu paham terkait dengan kegunaan masaker. "Bisa saja, mereka justru bertukar masker ketika berada di lingkungan sekolah," katanya.
Kondisi tersebut, kata dia, jelas berbahaya karena kita tidak tahu siswa mana yang mungkin masuk dalam kategori orang tanpa gejala, kemudian menularkannya kepada siswa lain saat bertukar masker.
"Karena senang dengan masker yang lain terus bertukat masker. Ini bahaya juga. Orang tua dan pihak sekolah harus mengantisipasi ini," katanya.