REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Para dokter yang bertugas menangani korban-korban ledakan di Beirut, Lebanon, menggambarkan kengerian akibat insiden tersebut. Ledakan dahsyat mengguncang Beirut pada Selasa (4/8) yang diduga kuat karena 2.750 ton amonium nitrat yang tersimpan di salah satu gudang di kawasan pelabuhan.
Orang-orang yang terluka parah mulai berdatangan ke Pusat Medis Clemenceau di Beirut dalam beberapa jam setelah ledakan menghancurkan sebagian besar ibu kota pada Selasa sore. Sebagian terluka di dalam apartemen mereka karena pecahan kaca dan benda-benda yang jatuh.
Sementara itu, yang lainnya menderita luka parah saat naik lift atau menaiki tangga. Korban lainnya berlumuran darah akibat jatuhnya batu dan puing-puing saat mereka berada di jalan.
Pada Rabu malam, jumlah orang yang terluka dalam ledakan di pelabuhan Beirut itu telah mencapai 5.000 orang. Sejauh ini, jumlah korban meninggal dunia akibat bencana ledakan tersebut bertambah menjadi 135 orang.
Seorang dokter yang merupakan pakar jantung di Clemenceau Medical Center, Walid Alami, menceritakan peristiwa di mana rumah sakit meminta semua perawat dan dokter yang tidak bertugas segera melapor untuk tugas. Sang dokter mengungkapkan, banyak pasien yang banyak dari mereka anak-anak, menderita luka mata, dan kehilangan penglihatan akibat pecahan kaca.
"Darah ada di mana-mana. Saya berusia 58 tahun. Saya telah hidup selama perang saudara dan merawat pasien selama invasi 2006. Saya belum pernah melihat yang seperti ini. Kami tidak pernah memiliki bom yang menyebabkan kerusakan dalam radius yang lebih luas," kata Alami kepada Arab News, dilansir Kamis (6/8).
Ia menambahkan, mereka menangani krisis dengan baik, mengingat mereka tidak pernah menghadapi hal seperti ini sejak perang 2006 dengan Israel. Pasalnya, mereka menangani banyak korban dalam waktu yang sangat singkat.
Sebelum ledakan terjadi, Lebanon memang telah terperosok dalam krisis akibat runtuhnya ekonomi, pemadaman listrik terus-menerus, dan ditambah gelombang kedua infeksi virus corona. Lebanon telah memberlakukan lockdown selama dua pekan pada 30 Juli lalu, setelah menteri kesehatan memperingatkan bahwa pandemi kian berbahaya. Namun kemarin Selasa, rumah sakit di Beirut menghadapi keadaan darurat kesehatan yang sama sekali tidak terduga.
Salah satu yang kemudian bertugas di garis depan adalah Ramzi Alami, seorang ahli bedah di American University of Beirut Medical Center. Ia mengungkapkan, seperti kebanyakan rumah sakit di Beirut, mereka juga benar-benar kebanjiran pasien.
Menurutnya, ia harus menggerakkan begitu banyak orang. Hal demikian tentunya menjadi salah satu tantangan terbesar bagi staf rumah sakit. Mereka membiarkan koridor terbuka, sehingga mereka bisa membawa korban yang terluka parah.
"Saya tidak tahu bagaimana menjelaskan apa yang kami lakukan tadi malam. Kami merawat pasien di lorong, di lantai, di semua tempat. Ada pemadaman listrik sejak awal, jadi kami merawat pasien dalam kegelapan. Apa yang kami alami dan yang kami lihat tidak terlukiskan," kata dokter Ramzi Alami.