REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Pengunjuk rasa bentrok dengan pasukan keamanan Lebanon ketika demonstrasi anti-pemerintah di Beirut berlangsung pada Kamis (6/8). Petugas menyebarkan gas air mata ke puluhan orang di dekat parlemen.
Para pengunjuk rasa marah dengan ledakan dahsyat pada Selasa (4/8) lalu. Ledakan tersebut menurut para pejabat disebabkan oleh 2.750 ton amonium nitrat yang disimpan secara tidak aman sejak 2013.
Dikutip dari BBC, banyak orang di Lebanon mengatakan kelalaian pemerintah menyebabkan ledakan yang menewaskan sedikitnya 137 orang dan melukai sekitar 5.000 lainnya. Ledakan itu menghancurkan seluruh distrik di ibu kota. Rumah-rumah dan bisnis-bisnis berubah menjadi puing-puing dan puluhan orang masih belum ditemukan.
Kantor berita negara Lebanon mengatakan 16 orang telah ditahan sebagai bagian dari penyelidikan yang dilakukan pemerintah. Sejak bencana tersebut dua pejabat mengundurkan diri.
Anggota parlemen, Marwan Hamadeh, mengundurkan sehari setelah ledakan. Sementara Duta Besar Lebanon untuk Yordania, Tracy Chamoun, menyusul mengundurkan diri dengan mengatakan bencana itu menunjukkan perlunya perubahan dalam kepemimpinan.
Presiden Prancis Emmanuel Macron menyatakan Lebanon perlu melihat perubahan besar dari pihak berwenang ketika mengunjungi negara itu. Dia juga menyerukan penyelidikan internasional atas bencana tersebut.
Tim penyelamat terus mencari orang-orang yang masih hilang dan pasukan keamanan telah menutup area yang luas di sekitar lokasi ledakan. Dua hari setelah ledakan, sebuah tim penyelamat Prancis yang bekerja di kota itu mengatakan masih ada peluang bagus untuk menemukan orang yang selamat.
Rumah sakit Beirut merasakan tekanan dari begitu banyak orang yang membutuhkan perawatan medis. Menteri Kesehatan Masyarakat Hamad Hassan mengatakan sektor kesehatan Lebanon kekurangan tempat tidur dan tidak memiliki peralatan yang diperlukan untuk merawat yang terluka serta pasien dalam kondisi kritis.
Lebanon juga perlu mengimpor sebagian besar makanannya karena kekhawatiran kekurangan pangan yang meluas. Hal ini melihat sejumlah besar biji-bijian yang disimpan di pelabuhan ikut hancur ketika terjadi ledakan.
Sebelum bencana ini, rumah sakit Lebanon sudah berjuang untuk mengatasi peningkatan infeksi Covid-19. Negara ini juga sedang mengalami krisis ekonomi terburuk sejak perang saudara 1975-1990 dan sering terjadi protes jalanan anti-pemerintah. Warga harus berurusan dengan pemadaman listrik setiap hari, kekurangan air minum yang aman, dan pelayanan kesehatan umum yang terbatas.