REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA
Orang yang menggali kubur akan memperoleh pahala besar. Alasannya, pertama, karena ia telah memenuhi salah satu hak orang yang meninggal dari orang yang hidup. Kedua, karena menggali kubur itu adalah amal mulia yang istimewa. Tak semua orang kuat dan gagah dapat melakukannya, apalagi orang kaya yang terbiasa hidup mewah.
Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang menggali kuburan untuk jenazah dan dia memasukkannya ke dalam kuburan tersebut, maka dia akan diberi pahala seperti pahala membuatkan rumah, yang jenazah itu dia tempatkan (di dalamnya) sampai hari kiamat.” (HR. Baihaki dan Hakim). Namun begitu, tidak banyak orang bersedia menggali kubur.
Tetapi tidak demikian halnya dengan Nabi SAW. Sejarah mencatat bahwa beliau menggali sendiri kubur untuk Dzil Bijadain, seorang sahabat yang sangat miskin walaupun berasal dari keluarga kaya yang mendambakan hidup bersama Rasulullah SAW. Pada saat itu, Abu Bakar Shidiq dan Umar bin Khattab menjadi saksi yang dilakukan Nabi SAW.
Satu hari Anas bin Malik bercerita, “Ketika Rasulullah SAW wafat, di Madinah ada dua orang yang dikenal sebagai penggali kubur, yang satu dengan cara lahad (membuat lubang di sisi kubur yang mengarah ke arah kiblat) dan yang lainnya dengan syaqq (menggali ke arah bawah seperti menggali sumur).
Para sahabat bersepakat, “Kita shalat istikharah, lalu kita panggil keduanya. Siapa di antara mereka yang paling cepat datang, kita tinggalkan yang lainnya. Ternyata penggali kubur (dengan cara membuat lahad) yang lebih cepat datang, maka para sahabat segera menggali kubur untuk pemakaman Rasulullah SAW” (HR. Ibnu Majah).
Ada dimensi humanisme Islam dalam persoalan menggali kubur. Seorang muslim tidak hanya diminta untuk menggali kubur buat sesama muslim saja tapi bagi yang bukan muslim juga. Karena dikuburkan adalah hak setiap manusia setelah ia meninggal. Pada saat Abi Thalib wafat, Nabi SAW bersabda, “Pergilah dan urus penguburannya.” (HR. Nasa’i).
Satu hal yang harus juga diperhatikan oleh yang menggali kubur adalah pada saat jenazah selesai dimakamkan agar dia membuat semacam bonggol dari tanah sebagai penanda. Bonggol itu berbentuk punuk pada bagian badan unta. Ini juga bagian dari penghormatan manusia kepada yang telah tiada untuk mengenang kebaikan yang telah dilakukannya.
Bersumber dari Jabir, ia bercerita, “Sesungguhnya Rasulullah SAW dibuatkan liang lahad, kemudian ditegakkan di atasnya bata, dan kuburnya ditinggikan sejengkal dari permukaan tanah.” (HR. Ibnu Hibban). Atsar sahabat inilah kiranya yang menjadi dasar hukum bolehnya dibangun nisan yang lebih tinggi dari tanah makam pada umumnya.
Tentu tidak semua orang harus menjadi penggali kubur pada saat seseorang meninggal. Ada hak lain bagi jenazah dari orang yang hidup yang juga berpahala. Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang mengiringi jenazah seorang muslim dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala sampai dishalatkan maka ia akan mendapatkan pahala satu qirath.
Dan barangsiapa yang menyaksikannya sampai dikuburkan, maka ia mendapatkan pahala dua qirath.” Ditanyakan, “Apakah pahala dua qirath itu?" Nabi SAW menjawab, “Yaitu seperti dua gunung yang besar.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud). Inilah pahala yang disediakan bagi orang melakukan penyelenggaraan jenazah mulai dari memandikan hingga menguburkannya.
Dari semua informasi di atas, terkuaklah tabir bahwa ternyata hingga seseorang meninggal, ia masih saja membutuhkan orang lain. Oleh karena itu, harus ada perbuatan yang kita khususkan bagi orang yang meninggal. Kalau kita sanggup boleh sekali-kali menggali kubur, lalu membuat liang lahad dan memberanikan diri memasukkan mayat ke dalamnya.