REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagi umat Islam, doa bersama bukan sesuatu yang baru. Sejak belasan abad silam, bahkan sejak aga ma Islam disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW hingga se karang, mereka sudah terbiasa melakukannya, baik setelah sha lat berjamaah maupun pada acara-acara tertentu.
Doa adalah suatu bentuk ke giatan berupa permohonan manusia kepada Allah SWT semata (lihat antara lain QS al-Naml [27]: 62). Dalam sejumlah ayat Alquran (antara lain surah al-Mu’min [40]: 60), Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berdoa. Karena itu, ke dudukan doa dalam ajaran Islam adalah ibadah. Bahkan, Nabi Muhammad SAW menyebutnya sebagai otak atau intisari ibadah (mukhkh al-ibadah). Sebagai sebuah ibadah, pelaksanaan doa wajib mengikuti ketentuan atau aturan yang digariskan Islam.
Di antara ketentuan yang paling penting dalam berdoa adalah doa hanya dipanjatkan kepada Allah SWT. Dengan demikian, di dalam doa sebenarnya terkandung juga unsur akidah, yakni hal yang paling fundamental dalam agama.
Di Indonesia, dalam acaraacara resmi kemasyarakatan dan kenegaraan, umat Islam terka dang melakukan doa bersama dengan pemeluk agama lain pada satu tempat yang sama. Doa de ngan bentuk seperti itulah yang dimaksud dengan doa bersama. Sedangkan, doa yang dilakukan hanya oleh umat Islam sebagai mana disinggung di atas tidak masuk dalam pengertian ini.
Kegiatan doa bersama menimbulkan pertanyaan di kalangan umat Islam, terutama tentang sta tus hukumnya. Atas dasar itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan fatwa tentang doa bersama. Fatwa tersebut terbagi dalam enam butir.
Pertama, doa bersama yang dilakukan oleh orang Islam dan non-Muslim tidak dikenal dalam Islam. Karena itu termasuk bid’ah.
Kedua, doa bersama dalam ben tuk setiap pemuka agama berdoa secara bergiliran, maka orang Islam haram mengikuti dan meng amini doa yang dipimpin oleh non-Muslim. Mengapa haram mengamini doa non-Muslim? Sebab, menurut MUI, mengamini sama dengan berdoa. Dan ketika yang berdoa adalah non- Mus lim, orang Islam yang meng amini tersebut berarti ia berdoa kepada Tuhan yang kepadanya non-Muslim berdoa. Padahal, konsep dan akidah mereka ten tang Tuhan, menurut Alquran, berbeda dengan akidah orang Islam (lihat antara lain dalam QS al-Maidah [5]: 73). Dengan demi kian, menurut MUI, orang Islam yang mengamini doa yang dipanjatkan oleh non-Muslim dapat dikategorikan kafir atau musyrik.
Lantas, bagaimana dengan orang Islam yang karena alasan tertentu harus mengikuti doa bersama? “Maka ketika non-Mus lim memanjatkan doa, ia wajib dalam hati haram mengamini nya,” lanjut MUI dalam penjelasannya atas fatwa doa bersama.
Ketiga, doa bersama dalam bentuk Muslim dan non-Muslim berdoa secara serentak (misalnya, mereka membaca teks doa bersama- sama), hukumnya haram. Artinya, orang Islam tak boleh melakukannya. Sebab, doa seperti ini dipandang telah mencampur adukkan antara ibadah (dalam hal doa) yang haq (sah, benar) dengan ibadah yang batil. Hal ini dilarang oleh agama (lihat antara lain dalam QS al-Baqarah [2]: 42).
MUI juga menilai, doa bersama bentuk ini sangat berpotensi meng ancam akidah orang Islam yang awam. Cepat atau lambat mereka akan menisbikan status doa yang dalam ajaran Islam me rupakan ibadah, serta dapat pula menimbulkan anggapan bagi me reka bahwa akidah ketuhanan non-Muslim sama dengan akidah ketuhanan orang Islam.
Keempat, doa bersama dalam bentuk seorang non-Islam memimpin doa. Dalam doa bersama seperti ini, orang Islam haram mengikuti dan mengamininya.
Kelima, doa bersama dalam bentuk seorang tokoh Islam me mimpin doa. Doa bersama bentuk ini hukumnya mubah. Keenam, doa dalam bentuk setiap orang berdoa menurut agama masing-masing. Yang ini hukumnya juga mubah.