Senin 10 Aug 2020 05:42 WIB

Rahasia di Balik Nikmatnya Kopi Luwak dari Desa Tawardi

Kopi Luwak menjadi andalan dari petani di Desa Tawardi, Takengon, Aceh Tengah

Sahadi Putra, salah seorang pengurus di Tiara Global Coffee
Foto: Fakhtar Khairon Lubis
Sahadi Putra, salah seorang pengurus di Tiara Global Coffee

REPUBLIKA.CO.ID, TAKENGON -- Kopi luwak menambah khazanah kopi asal Indonesia. Rasanya yang khas, membuat kopi luwak mempunyai harga jual yang tinggi, baik di pasaran lokal maupun Internasional. Di wilayah Takengon, Aceh Tengah, ada salah satu kelompok tani yang fokus dalam mengembangkan kopi luwak.

Jika berkunjung ke wilayah Aceh Tengah, bagi para pencinta kopi bisa berkunjung ke Desa Tawardi, Kecamatan Kute Panang, atau berjarak kurang lebih 40 menit dari pusat Kota Takengon. Disini, ada kelompok tani yang tergabung dalam Tiara Global Coffee yang memang fokus dan menjadikan kopi luwak sebagai produk unggulan mereka. 

Baca Juga

Menurut Sahadi Putra, salah seorang pengurus di Tiara Global Coffee, kelompoknya mulai serius mengembangkan kopi luwak sejak tahun 2016. Sahadi mengatakan, awalnya kopi luwak dicari di pinggir-pinggir hutan setiap musim panen tiba. Tingginya nilai jual jenis kopi ini, membuat kelompoknya mulai berpikir untuk membangun penangkaran luwak.

"Tahun 2016, kami mulai serius mengolah kopi luwak, setelah adanya bantuan untuk membangun penangkaran luwak," ucapnya saat ditemui tim Ekspedisi Republikopi.

Penangkaran luwak yang ada di Desa Tawardi, dibangun dengan mengikuti habitat asli Luwak. Di dalam penangkaran seluas kurang lebih setengah hektar itu, tidak hanya ditanam pohon kopi, namun juga pohon-pohon buah dan pohon lain seperti yang ada di hutan. 

"Jadi ini termasuk dalam bagian perawatan luwak kami, dimana di dalam tangkar dibuat semirip mungkin dengan habitat aslinya. Selain itu, luwak juga diberikan makanan bukan hanya kopi, tetapi buah-buahan lain seperti pisang, pepaya, jambu hingga daging, karena luwak di alam liar juga memakan daging. Jadi cita rasa kopi luwak hasil penangkaran tidak berbeda dengan secara liar," jelasnya.

photo
Pekerja mengumpulkan biji kopi di penangkaran Luwak di Desa Tawardi, Kecamatan Kute Panang, Takengon, Aceh Tengah. - (Bayu Hermawan)

Sahadi mengatakan, biji-biji kopi di penangkaran luwak biasanya diambil setiap tiga hari sekali. Ada yang unik dari perilaku Luwak dalam membuang kotorannya. Luwak selalu membuang kotoran di tempat yang sama. Umumnya, biji kopi yang ada di dalam kotoran luwak ditemukan di balik atau disekitar potongan bahan pohon yang sengaja di letakan di dalam kandang. 

"Musim panen kopi luwak mengikuti musim panen kopi. Di tangkar kami, ketika masa panen bisa mengumpulkan sampai 50 hingga 60 kilogram biji kopi luwak dalam satu bulan. Sedangkan juka tidak musim panen mungkin hanya sekitar 6 kilo saja," 

Untuk memenuhi permintaan pembeli, Tiara Global Coffee juga menerima jika ada petani yang ingin menjual biji kopi luwak ke kelompoknya. "Jadi tidak ada penyiksaan luwak disini, sebaliknya kami memberikan perawatan yang baik untuk luwak yang ada di tangkar kami," katanya.

Hingga saat ini, kopi luwak termasuk dalam jenis kopi yang berharga mahal baik di tingkat pasaran lokal maupun internasional. Sahadi mengatakan, untuk nilai jual kopi luwak untuk ekspor mencapai 500 ribu rupiah perkilogram. Sementara di tingkat lokal harganya sekitar 350 ribu rupiah perkilogram. Sementara untuk negara yang paling banyak membeli kopi luwak dari kelompoknya adalah Taiwan, Turki dan Abu Dhabi.

Secara karakteristik, kopi luwak memiliki aroma dan rasa yang unik. Kopi luwak dari Desa Tawardi mempunya karakter yang full body namun smooth. Tingkat kemanisan kopi luwak disini pun sangat terasa, dengan after taste yang nikmat. Sementara tingkat keasaman cenderung rendah.

"Kopi luwak kafeinnya juga rendah, sehingga orang yang punya penyakit riwayat lambung aman minum kopi luwak," ucapnya.

Karakter rasa dari kopi ini, tidak lepas dari perilaku luwak dalam memakan ceri kopi. Ia mengatakan, luwak hanya memakan ceri kopi yang benar-benar matang dan terbaik. "Sehingga jarang ada cacat di biji kopi yang ditemukan, karena luwak hanya makan ceri kopi yang sempurna. Untuk membedakan kopi dari luwak dengan binatang lain, seperti tikus, adalah dalam biji kopi luwak tidak menyisakan kulit sama sekali, selain itu aroma luwak lebih tajam. Sementara misalnya tikus, itu masih ada sisa kulit kopinya," jelas Sahadi.

Dalam penangkaran yang ada di Desa Tawardi, ada dua jenis luwak yang dipelihara, yakni luwak bulan dan luwak pandan. Ia mengatakan, ada perbedaan dari jenis luwak ini dalam menghasilkan biji kopi. Menurutnya, secara kuantitas, luwak bulan lebih banyak dalam memakan ceri kopi, sehingga jumlah biji kopi yang didapat dari kotoran jenis luwak itu lebih banyak. Sementara untuk luwak jenis satunya lagi, hasil biji kopinya cenderung lebih beraroma pandan.

"Selain itu, kalau disini luwak lebih memakan ceri kopi dari jenis arabica, karena kulit dan dagingnya lebih manis. Sementara untuk kopi luwak dari jenis robusta masih sangat sedikit, karena memang luwak jarang memilih robusta.

photo
Luwak pandan di penangkaran di Desa Tawardi, Kecamatan Kute Panang, Takengon, Aceh Tengah. - (Bayu Hermawan)

Sahadi juga mengatakan, kopi luwak dari kelompoknya sudah mempunyai sertifikat halal. Selain itu, proses pascapanen dilakukan dengan sebaik mungkin, salah satunya dalam proses pencucian biji kopi luwak, yang dilakukan hingga berkali-kali untuk memastikan tidak ada sisa kotoran yang menempel di biji kopi. Namun, sayangnya serapan kopi luwak di tingkat lokal masih tergolong rendah.

"Untuk tingkat internasional masih lebih banyak pembelinya dibanding tingkat lokal. Harapan kami, serapan di tingkat pembeli lokal juga bisa bertambah," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement