REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Rusia tidak kembali melahirkan momen kekaguman Sputnik yang sudah berlalu puluhan tahun. Pengumuman Presiden Rusia Vladimir Putin tentang keberhasilan Moskow melahirkan vaksin pertama virus korona justru memicu banyak keraguan.
Seperti perlombaan luar angkasa, persaingan untuk mendapatkan vaksin pertama ini tentang persaingan internasional serta sains. Bangsa pertama yang mengembangkan cara untuk mengalahkan virus korona jenis baru ini akan mencapai semacam kemenangan di bulan dan status global yang menyertainya.
Vaksin yang diperkenalkan Rusia bernama "Sputnik V" yang merujuk pada peluncuran satelit pertama Uni Soviet ke orbit pada tahun 1957. Ketika itu dunia terkagum-kagum dan menjadi kebanggan besar, tetapi ini tidak berlaku pada vaksin korona yang diperkenalkan pada 11 Agustus.
"Menjadi yang pertama keluar dari blok dengan vaksin virus korona akan menjadi nyata, maafkan pelesetan, kemenangan besar untuk Kremlin," kata profesor ilmu politik di Universitas Columbia yang mengkhususkan diri dalam politik pasca-Soviet, Timothy Frye.
Pengumuman Rusia sebagai negara pertama dengan vaksin virus korona sangat berharga bagi Putin. Kepala negara ini menghadapi popularitas di dalam negeri yang menurun saat kondisi ekonomi yang stagnan dan kerusakan akibat pandemi berbulan-bulan.
"Mereka akan senang dapat mengklaim kredit karena negara pertama yang mengembangkan vaksin akan mendapatkan prestise yang sangat besar," kata mantan asisten Menteri Luar Negeri untuk urusan Eropa dan Eurasia yang sekarang menjadi rekan terhormat di Dewan Atlantik, Daniel Fried.
Putin mengatakan Kementerian Kesehatan memberikan persetujuannya setelah vaksin menjalani tes yang diperlukan. Bahkan, dia mengatakan salah satu dari dua putrinya yang sudah dewasa telah diinokulasi.
"Kita harus berterima kasih kepada mereka yang telah mengambil langkah pertama ini, yang sangat penting bagi negara kita dan seluruh dunia," ujar Putin.
Hingga saat ini, tidak ada bukti yang ditunjukan atas klaim tersebut dan para ilmuwan di Rusia memperingatkan bahwa diperlukan lebih banyak pengujian untuk membuktikan vaksin aman dan efektif. Namun, para pejabat mengatakan vaksinasi dokter bisa dimulai paling cepat bulan ini dan vaksinasi massal bisa dimulai paling cepat Oktober.
Para ilmuwan di seluruh dunia telah memperingatkan bahwa meskipun kandidat vaksin terbukti berhasil, akan membutuhkan lebih banyak waktu untuk mengetahui berapa lama perlindungan tersebut akan bertahan. "Masih terlalu dini untuk benar-benar menilai apakah itu akan efektif, apakah itu akan berhasil atau tidak," kata peneliti senior kesehatan global di Universitas Southampton, Dr. Michael Head.
Rusia tentu tidak sendirian memandang vaksin dalam sudut pandang perlombaan bergengsi. Cina sebagai negara yang pertama kali melaporkan virus korona juga berlomba untuk membuat kemajuan dalam pembuatan vaksin. Sebuah perusahaan milik negara mengklaim bahwa karyawannya, termasuk para eksekutif atas, menerima suntikan percobaan, bahkan sebelum pemerintah menyetujui pengujian pada manusia.
Sedangkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berharap sukses besar dengan kehadiran vaksin yang terus ditekan untuk segera selesai. Diharapkan warga AS dapat mendapatkan suntikan sebelum Hari Pemilu pada November yang bisa memberikan efek kuat untuk hasil pemilihan presiden berikutnya.
Dengan perlombaan vaksin, publik memang sangat ingin mendapatkan suntikan tersebut karena kematian global akibat virus melampaui 730.000 jiwa. Beberapa mengatakan akan mencoba vaksin milik Rusia asalkan disetujui oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) dan Administrasi Makanan dan Obat-obatan (FDA).
"Aku tidak tahan lagi. Aku jadi gila. Saya tidak berpikir CDC atau FDA akan menyetujui sesuatu yang tidak akan berhasil," ujar warga Maryland di Washington, AS, Fernanda Henderson.
Tapi, ahli imunologi, Vesna Jezic, kemajuan yang sangat cepat terhadap vaksin ini mencurigakan. Pengumuman Putin tentang vaksin tersebut menjadi alasan untuk meragukan. "Bisa dibayangkan kami tidak mempercayai apa pun yang berasal dari Rusia," katanya.
Presiden Rusia mungkin menghadapi keraguan serupa di rumah. Frye mencatat Jajak Pendapat Gallup 2018 yang menunjukkan bahwa negara-negara bekas Soviet memiliki tingkat sentimen anti-vaksinasi tertinggi di dunia. "Kalau ternyata tidak berhasil, itu akan menjadi kondisi buruk yang nyata,"ujar Jezic.