Rabu 19 Aug 2020 22:07 WIB

Permintaan Sektor EBT Relatif Stabil

Pandemi Covid-19 bisa jadi tonggak fokus penggunaan EBT.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Fuji Pratiwi
Direktur Panas Bumi Kementrian ESDM Ida Nuryatin Finahari (tengah) meninjau Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Karaha Bodas di Kecamatan Kadipaten, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Ida menyatakan permintaan EBT relatif stabil.
Foto: Rizky Suryarandika/REPUBLIKA
Direktur Panas Bumi Kementrian ESDM Ida Nuryatin Finahari (tengah) meninjau Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Karaha Bodas di Kecamatan Kadipaten, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Ida menyatakan permintaan EBT relatif stabil.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pandemi Covid-19 yang melanda dunia membuat perubahan besar termasuk pada sektor energi. Kebutuhan energi global diperkirakan turun 10 persen yang didominasi oleh penurunan signifikan energi fosil, sementara permintaan energi baru terbarukan (EBT) relatif stabil.

Direktur Panas Bumi Ditjen EBTKE Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ida Nuryatin Finahari mengatakan, pandemi Covid-19 bisa menjadi momentum untuk memperbaiki pemanfaatan energi baru terbarukan yang berdampak positif bagi perbaikan lingkungan. Pasalnya dengan penurunan penggunaan energi fosil berdampak baik bagi penurunan emisi gas buang rumah kaca.

Baca Juga

"Dalam situasi seperti ini, inilah saatnya kita jadikan Covid-19 sebagai tonggak sejarah menata kembali dunia yaitu memfokuskan penggunaan EBT, menata kembali bagaimana mencapai target penurunan emisi gas rumah yang akan mempengaruhi iklim," kata Ida dalam diskusi virtual, Rabu (19/8).

Ida mengatakan Indonesia telah berkomitmen untuk meratifikasi Perjanjian Paris melalui UU Nomor 16 Tahun 2016. Indonesia berkomitmen mengurangi gas rumah kaca hingga 29 persen di 2030.

Ia mengatakan pemerintah telah mencanangkan penurunan emisi gas CO2 setara 314 juta ton di 2030 dengan estimasi kebutuhan investasi sebesar Rp3.500 triliun. Ida bilang melalui pembangunan pembangkit EBT, ditargetkan dapat berkontribusi menurunkan emisi gas CO2 setara 156,6 juta ton atau 49,8 persen dengan kebutuhan investasi Rp1.690 triliun.

Saat ini, penggunaan energi di tanah air masih didominasi dari fosil yakni sekitar 90 persen dipasok oleh batu bara, minyak dan gas. Sementara EBT dalam bauran energi primer di 2019 kontribusinya sekitar 9,15 persen yang di dalamnya terdapat pembangkit EBT yang berkontribusi sebesar 14,7 persen dari total kapasitas pembangkit terpasang saat ini.

Lebih lanjut, Ida menambahkan hingga semester I 2020, Indonesia telah memiliki pembangkit EBT terpasang dengan kapasitas 10,4 giga watt (GW). Angka tersebut didominasi oleh pembangkit hydro 6,07 GW, panas bumi 2,1 GW, dan lain sebagainya.  Angka tersebut tentunya masih sangat minim bila dibandingkan potensi EBT yang dimiliki dan bisa dikembangkan ke depannya. Oleh karena itu, Ida mengatakan dibutuhkan kerja sama semua pihak untuk mendorong pengembangan EBT.

"Kami enggak dapat bekerja sendiri, tantangan transisi enegi membutuhkan dukungan bapak ibu sekalian," tandas Ida.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement