REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menyebut kata filsafat, banyak orang yang enggan membicarakannya. Jangankan mengobrol soal filsafat, mendengarnya saja sudah enggan. Susah dimengerti. Begitulah alasan yang kerap diutarakan.
Seorang tokoh filsuf Muslim sekaligus hujjatul Islam, Abu Hamid bin Muhammad al-Ghazali, pernah mengutarakan, kecelakaan dan kerusakanlah bagi orang yang belajar filsafat. Hal ini dikemukakannya dalam kitab Tahafut al-Falasifah. Menurut sejumlah pendapat, pernyataan yang dikemukakan Al-Ghazali itu sebelum dirinya mencapai puncak tertinggi dalam mempelajari filsafat dan ilmu tasawuf.
Namun, ketika ada orang yang serius membicarakan soal filsafat, komentar-komentar miring pun bermunculan. Sok tahu soal filsafat. Begitulah tipikal masyarakat kebanyakan. Sebagian umat Islam, ada yang ‘antipati’ mendengar soal filsafat. Ngomong filsafat saja lancar. Tapi, ngomong soal agama, tidak paham. Ini adalah sindiran kepada orang yang suka bicara filsafat.
Padahal, para filsuf Muslim, seperti Ibnu Rusyd, Al-Kindi, Al-Farabi, dan lainnya, begitu menghargai setiap perbedaan pendapat. Bahkan, mereka juga dikenal sangat menghargai pemikiran dari tradisi filsafat Yunani sejauh tidak bertentangan dengan ajaran pokok Islam.
Alquran secara tegas telah memberi kemungkinan bagi pemikiran filosofis itu. Di dalam Alquran, terdapat sejumlah ayat yang menyuruh manusia untuk menggunakan daya nalarnya dengan menjadikan alam semesta sebagai objek pikirannya.
Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, disebutkan bahwa para filsuf Muslim ini mengembangkan pemikiran para filsuf Yunani sedemikian rupa sehingga tersedia ruang bagi tampilnya kebenaran asasi dalam Islam. Namun, yang kerap kali menjadi pertanyaan adalah bagaimana mempertalikan serta menyelaraskan pemikiran para filsuf Yunani ini dengan ajaran pokok Islam.
Oliver Leaman dalam bukunya yang bertajuk Pengantar Filsafat Islam, memberi contoh pemikiran Plato dan Ibnu Rusyd. Dalam bukunya, Republic, Plato mengemukakan usul penggunaan berbagai metode yang berkepanjangan, tak kenal lelah, untuk mengajak manusia biasa atau awam agar bertingkah laku dengan cara tertentu. Dia tidak menentang penggunaan cara, bahkan ketika harus bertindak dusta sekalipun untuk memberdayakan musuh atau orang gila.
Menurut Plato, cara seperti itu bermanfaat untuk maksud-maksud pengobatan yang harus dikuasai oleh bukan orang sembarangan, melainkan oleh seorang dokter. Seorang dokter dalam sebuah negara adalah seorang pemegang pemerintahan.
Analogi Plato ini juga sering kali dipakai oleh Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd berpendapat dalam bukunya Comentary on Plato's Republic bahwa tindakan dusta yang digunakan oleh seseorang yang mengatur urusan negara terhadap orang-orang awam adalah benar dan tepat bagi mereka. Tindakan itu, menurut dia, seperti merupakan obat bagi suatu penyakit.