Jumat 28 Aug 2020 00:49 WIB

Hak Perempuan dan Anak dalam Perkawinan Kerap Terabaikan

Orang tua bertanggung jawab untuk memenuhi hak anak walaupun sudah pisah.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Muhammad Fakhruddin
Seminar nasional online dengan tema
Foto: istimewa
Seminar nasional online dengan tema "Hak Perempuan dan Anak dalam Perkawinan".

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah serta Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UHAMKA bekerja sama menggelar seminar nasional. Tema yang diusung adalah "Hak Perempuan dan Anak dalam Perkawinan".

Diskusi menyoroti hak perempuan dan anak yang kerap terabaikan ketika ikatan keluarga harus berakhir. Seharusnya, hak-hak perempuan dan anak tetap harus dipenuhi oleh laki-laki walaupun perkawinan antara dua insan tidak berlanjut.

Memulai perkawinan dengan baik-baik, maka perpisahannya pun harus dilakukan dengan cara yang baik pula. Diskusi yang telah digelar berupaya memahami konflik perkawinan yang berdampak pada tidak terpenuhinya hak perempuan dan anak.

Acara yang diselenggarakan pada Senin (24/8) melalui zoom meeting tersebut dibuka oleh Ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Masyitoh Chusnan. Terkait dengan tema yang diusung, Masyitoh menyampaikan ‘Aisyiyah memiliki Pos Bantuan Hukum (Posbakum).

Posbakum bertugas untuk melakukan sosialisasi peraturan perundangan terkait perkawinan agar perempuan dan anak terlindungi hak-haknya. Sosialisasi sangat penting agar masyarakat memahami hukum terkait perlindungan perempuan dan anak.

Dekan FKIP UHAMKA, Desvian Bandarsyah, menyampaikan pidato kunci bahwa keluarga merupakan pilar pembangunan bangsa. Keluarga sangat diharapkan menjadi penopang kehidupan bangsa.

Idealnya, keluarga saling menjaga, saling mendukung, dan saling mengedepankan keterbukaan. Seringkali, keluarga lebih dilihat sebagai sebuah entitas target grup dalam kebijakan negara.

Padahal, seharusnya pendekatan pembangunan keluarga harus melihat sisi dalam dan perkembangannya, bukan hanya perkara fisik. Pasalnya, keluarga menjadi ketahanan suatu masyarakat dan bangsa. 

Desvian mengutip data Bappenas yang menunjukkan bahwa perceraian di Indonesia meningkat tiga persen setiap tahun. Dengan kondisi itu, perempuan perlu punya kesadaran hukum untuk memastikan hak-haknya dalam perkawinan.

"Pada sisi yang lain, adanya kebutuhan bimbingan perkawinan bagi pasangan muda agar menjadi bekal menjalani kehidupan keluarga. Dengan bekal tersebut, diharapkan perceraian dapat diminimalisasi," ujar Desvian.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Fal Arovah Windiani turut memberikan paparannya. Dia menyayangkan kondisi laki-laki menunggu perempuan mengajukan gugatan cerai agar bebas dari hak nafkah nuth’ah, nafkah, iddah, dan hadhonah.

"Padahal seharusnya laki-laki menyadari hak-hak perempuan yang harus dipenuhi ketika mereka memutuskan untuk mengakhiri relasinya sebagai sebuah tanggung jawab. Bukan justru mereka meninggalkan tanggung jawabnya," kata dia.

Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati yang juga menyampaikan materi, mengatakan bahwa sampai kapanpun anak memiliki ikatan dengan orang tuanya. Ada mantan suami atau istri, tetapi tidak ada mantan anak dan orang tua.

"Semua orang tua bertanggung jawab untuk memenuhi hak akses, hak pengasuhan, sekaligus hak nafkah kepada anak walaupun ikatan perkawinan dengan pasangan telah berakhir," ucap Rita yang menegaskan kedua pihak sama-sama memiliki kewajiban asuh.

Sementara, Dosen Program Studi PAUD UHAMKA Khusniyati Masykuroh menyebutkan berbagai dampak perceraian pada anak. Anak berpotensi mengalami hambatan tumbuh kembang, ekspresi agresif pada remaja, hingga sulit beradaptasi.

"Sehingga seharusnya orang tua memikirkan soal bagaimana nasib anak dalam relasi perkawinan. Karena sesungguhnya, anak adalah investasi akhirat orang tua," tutur Khusniyati.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement