REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Imam Kuwait, Sheikh Naji Al-Kharas mengatakan dalam khutbahnya Jumat lalu, bahwa setiap perjanjian perdamaian yang pernah dinegosiasikan antara Muslim Arab dan Israel adalah nol dan batal. Alasannya adalah karena seringkali perjanjian tersebut mengabaikan perjuangan kemerdekaan Palestina.
“Orang-orang Arab telah mencoba untuk bernegosiasi dan menandatangani perjanjian damai dengan orang-orang Yahudi zionis. Jelas, semua perjanjian ini batal demi hukum. Semuanya batal demi hukum," ujar Al-Kharas dilansir dari Frontpagemag, pada Selasa (1/9).
Sebelumnya, pernah dilakukan Perjanjian Camp David. Perjanjian damai yang dilakukan Mesir dan Israel pada 1948. Perjanjian damai tersebut pun akhirnya batal demi hukum, karena mereka mengesampingkan jihad.
Siapapun tidak diizinkan untuk menandatangani perjanjian perdamaian secara permanen dengan musuh. Jika pun terjadi, itu hanya sementara. Dalam Alquran dan hadits pun tidak ditemukam adanya perjanjian yang dilakukan secara permanen antara Yahudi dan Muslim.
Menurut harian resmi Otoritas Palestina Al-Hayat Al-Jadida, menyatakan bahwa Dewan Nasional Palestina sekali lagi menyatakan keberatannya terhadap setiap rencana, proyek, kesepakatan, atau upaya untuk merugikan hak-hak rakyat Palestina yang tidak dapat dicabut.
Hal ini mendorong Organisasi Pembebasan Palestina untuk mengambil semua langkah yang diperlukan untuk mendorong dan meningkatkan perlawanan dan perjuangan melawan pendudukan warga Palestina.
Sebuah media Republik Islam Islam, Tehran Times, melaporkan pada Januari 2020, tentang rencana perdamaian yang digaungkan Trump pertama kali. Kemudian disambut oleh Ketua Parlemen Iran, Ali Larijani melalui sebuah surat yang dikirim ke ketua Parlemen negara-negara Islam, mendesak Negara-negara Islam untuk melawan apa yang diusulkan Amerika Serikat yang disebut 'Kesepakatan Abad Ini.'
Hal yang sama juga dilakukan ISIS. Menurut Jerusalem Post, khalifah baru ISIS, Abu Ibrahim al-Hashimi al-Quraishi, meminta semua Muslim di seluruh dunia untuk menggagalkan rencana perdamaian yang dilakukan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Dan bahwa 'Muslim yang tinggal di Palestina akan berada di garis depan dalam perang melawan orang Yahudi (dan) menggagalkan kesepakatan Abad Ini tersebut.
Sementara itu, di Turki, para demonstran Turki turun ke jalan-jalan di seluruh negeri untuk memprotes rencana perdamaian Timur Tengah. Banyak pengunjuk rasa di rapat umum memegang plakat bertuliskan slogan, 'Yerusalem milik Islam.'
Negara Islam harus melawan rencana tersebut. Muslim di seluruh dunia harus bekerja untuk menggagalkannya. Yerusalem adalah milik Islam dan Palestina harus meningkatkan jihad mereka. Namun ini adalah salah satu aspek dari konflik Israel-Palestina yang secara rutin diabaikan oleh para analis Barat arus utama: Islam.
Ini adalah latihan bencana dalam ketidaktahuan yang disengaja, karena para jihadis Palestina dan pendukung mereka terus-menerus membingkai perang mereka melawan Israel dalam istilah Islam. Seperti yang ditunjukkan oleh The Palestine Delusion: The Catastrophic History of the Middle East Peace Process .
Sangat mudah untuk memahami, meskipun tidak dapat dimaafkan, mengapa aspek Islam dari konflik tersebut secara rutin diabaikan. Alquran memerintahkan umat Islam untuk "dan usirlah mereka dari tempat mereka mengusir kamu" (QS Al-Baqarah ayat 191).
Ayat tersebut adalah sejarah bahwa Israel sebenarnya telah mengusir Muslim Arab dan bahwa Muslim harus menghancurkan Israel dan mengusir orang Israel. Itu berarti, tidak ada penyelesaian yang dinegosiasikan yang akan membangun Israel dengan aman dan mengakhiri jihad melawannya, dan itulah mengapa para analis mengabaikan Islam ketika mempertimbangkan konflik: orang-orang tidak menyukai berita buruk, atau masalah yang tidak dapat diselesaikan.
Meskipun demikian, inilah realitas situasinya, dan tidak ada kebaikan yang bisa datang dari mengabaikan kenyataan. Mengingat peran Islam dalam konflik tersebut, negara Palestina hanya akan menjadi basis baru untuk lebih banyak serangan jihad terhadap Israel, seperti yang ditunjukkan penarikan dari Gaza. Pendiriannya tidak akan membawa perdamaian.
Gagasan bahwa orang Palestina atau sekutu dan pendukungnya akan dengan tulus menerima hak Israel untuk hidup adalah mimpi belaka. Penolakan para analis konflik Israel-Palestina untuk menghadapi peran teologi Islam dalam konflik itu sangatlah naif dan etnosentris.
Palestina dan pendukungnya tidak akan pernah menerima rencana perdamaian Trump, karena Islam yang mengamanatkan bahwa Islam harus mendominasi dan tidak didominasi, dan bahwa setiap tanah yang pernah diatur oleh hukum Islam harus diatur oleh hukum Islam selamanya. Kecuali dan sampai fakta-fakta ini diperhitungkan, setiap rencana perdamaian diperkirakan akan datang.