REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perlindungan orangutan terbaik adalah melindungi habitatnya untuk menghindari konflik dengan manusia. Demikian dikatakan Koordinator Peneliti Ecology and Conservation Center for Tropical Studies (Ecositrop) Yaya Rayadin.
Yaya menilai secara umum perlindungan terhadap orangutan masih menghadapi persoalan yang sama. Habitat orangutan semakin sempit karena dipergunakan untuk perkebunan, pertambangan, hutan tanaman, dan pengembangan infrastruktur. "Belum lagi kalau terjadi kebakaran dan perambahan kawasan hutan," kata dia saat dihubungi di Jakarta, Senin (7/9).
Yaya mengatakan kasus-kasus seperti orangutan ditembak, orangutan terjerat, dan lain-lain hanya menjadi bagian kecil kasus konflik dengan manusia. Apabila ingin memberi perlindungan maka agenda besarnya adalah memelihara dan menjaga habitat orangutan, agar dapat tetap leluasa mencari makan dan berkembang biak.
Persoalan pengelolaan habitat tidak berhenti di situ saja karena perlindungan habitat orangutan ini berhadapan dengan perambahan hutan dan penebangan liar. Kedua aktivitas ilegal itu juga dapat mengancam kelangsungan satwa ini di habitatnya
Pemerintah selain mengeluarkan berbagai kebijakan untuk melindungi habitat orangutan juga punya tanggung jawab wilayah untuk terlibat secara langsung melindungi orangutan yang ada di kawasan taman nasional maupun areal konservasi. Menurut Yaya beban melindungi habitat orangutan haruslah dibagi juga kepada swasta. Karena faktanya hampir 90 persen populasi orangutan justru berada di luar kawasan konservasi.
Yaya mengatakan pemerintah telah mewajibkan pemilik usaha kehutanan untuk menyediakan minimal 10 persen lahan yang dikelolanya untuk kawasan konservasi. "Katakan dengan luasan lahan 100 ribu hektare yang dikelola perusahaan minimal bisa menyediakan 10 ribu hektare untuk konservasi. Itu sudah bisa menyelamatkan satu kelompok populasi orangutan dengan jumlah 100 inidividu orangutan," kata Yaya menjelaskan.
Menurut peneliti yang juga pengajar Fakultas Kehutanan di Universitas Mulawarman ini, habitat dan populasi orangutan yang berada di luar kawasan konservasi, harus mendapat perhatian yang lebih serius. Populasinya hampir 90 persen dari jumlah populasi orangutan di dunia.
Saat ini sudah ada model konservasi orangutan yang sudah cukup baik antara lain untuk populasi orangutan yang berada di perusahaan yang bisnisnya di ranah Hutan Tanaman Industri (HTI). "Ada kriteria dan kebutuhan yang harus mereka terapkan untuk memperoleh sertifikasi pengelolaan hutan lestari termasuk di antaranya menetapkan dan melindungi Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi untuk konservasi biodiversity termasuk orangutan" katanya.
Salah satu yang patut diapresiasi dan sudah dapat dijadikan model konservasi orangutan adalah langkah yang diambil PT Multi Kusuma Cemerlang (MKC). MKC merupakan perusahaan HTI karet yang berlokasi di Kutai Timur, Kalimantan Timur.
Anak usaha PT Royal Lestari Utama yang mengembangkan perkebunan karet alam terintegrasi ini telah menyediakan lebih dari sembilan ribu hektare atau hampir 50 persen dari lahan konsesi yang dikelolanya untuk kawasan konservasi bagi orangutan dan biodiversity yang ada didalamnya. Upaya menyediakan, mengelola dan melindungi habitat orangutan di dalam konsesi perusahaan harus menjadi model dalam perlindungan habitat orangutan
Selain itu, MKC juga melakukan pelatihan untuk tim penyelamat orangutan dan secara berkelanjutan melakukan survei dan menjaga habitat satwa dilindungi tersebut. Perusahaan juga melakukan pemantauan orangutan dengan memasang camera trap dan melakukan pemetaan dengan menggunakan drone.
Di Kalimantan Timur, kolaborasi antara Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur, Balai Taman Nasional Kutai, serta Ecositrop telah membentuk Tim Satuan Tugas Penyelamatan Orangutan dalam melakukan upaya konservasi dan penyelamatan populasi orangutan di kawasan HTI. Sejak 2010 tim satgas telah melaksanakan patroli perlindungan orangutan dan habitatnya.
Tim satgas juga berperan membantu pemerintah, dalam hal ini BKSDA, untuk menangani konflik orangutan di masyarakat yang berada di sekitar konsesi perusahaan.
International Union for Conservation of Nature (IUCN) menyebutkan banyak primata endemik Indonesia terancam punah, salah satunya orangutan. Populasi satwa bernama latin Pongo Pygmaeus (orangutan Kalimantan), Pongo Abelii (orangutan Sumatra), dan Pongo Tapanuliensis (orangutan Tapanuli) telah menurun drastis sebesar 50 persen sejak 1992 hingga hanya tersisa 14.600 individu. Sehingga pada 2016 masuk ke dalam daftar merah IUCN.