Sabtu 12 Sep 2020 08:23 WIB

Masa Depan Pertanian di Tangan Anak Muda

Dari 33 juta petani yang ada di Indonesia, 91 persen didominasi oleh orang tua.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Warga merawat tanaman yang ditanam dengan sistem hidroponik di gang hijau Kelompok Tani (poktan) Ampar Adhum, Jatinegara, Jakarta, Ahad (9/8). Saat ini, hidroponik menjadi salah satu hobi yang menguntungkan bagi masyarakat.
Foto: Prayogi/Republika
Warga merawat tanaman yang ditanam dengan sistem hidroponik di gang hijau Kelompok Tani (poktan) Ampar Adhum, Jatinegara, Jakarta, Ahad (9/8). Saat ini, hidroponik menjadi salah satu hobi yang menguntungkan bagi masyarakat.

REPUBLIKA.CO.ID, Sektor pertanian Indonesia sudah waktunya untuk melakukan regenerasi. Pasalnya, mayoritas petani saat ini telah berusia diatas 50 tahun sehingga mengalami penurunan produktivitas dalam aktivitas pertaniannya. Petani muda menjadi harapan untuk meningkatkan kembali kejayaan sektor pertanian nasional.

Data Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Pertanian, Kementerian Pertanian, menyebutkan, dari total jumlah petani saat ini sebanyak 33,4 juta orang, sekitar 30,4 juta orang atau 91 persen merupakan petani generasi tua yang usianya mendekati 50 tahun hingga 60 tahun.

Baca Juga

Sementara, petani yang masuk kategori generasi muda dengan usia antara 19-39 tahun hanya sekitar 9 persen atau 2,7 juta orang. "Mau tidak mau, kita harus lakukan regenerasi petani karena mereka yang paling berberan," kata Kepala BPPSDM Kementan, Dedi Nursyamsi, beberapa waktu lalu.  

Dengan prospek bisnis pertanian yang tak pernah turun, semangat anak muda terus berkembang. Tak perlu sulit mencari alasan kenapa harus pertanian. Sebab, semua orang butuh makan dan sektor pertanian sebagai penghasil produk pangan yang bisa menjawabnya.

Safari Munjin (24), misalnya, usai lulus kuliah, ia memilih menjadi petani sayur hidroponik di pekarangan rumahnya dan mendirikan bisnis yang ia namakan Sayuran Pagi sejak 2018.

Lulusan Sastra Jawa, Universitas Indonesia tahun 2014 ini mengaku tak punya latar belakang bidang pertanian. Namun, pascalulus, ia melihat ada peluang besar dalam bisnis pertanian.

"Memang ini bisnis yang sengaja saya rintis ketika selesai wisuda. Pertimbangannya, usaha apa yang kira-kira produknya dibutuhkan orang setiap hari dan punya sisi keberlanjutan," kata Munjin, saat berbincang dengan Republika.co.id, pekan lalu.

photo
Petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Wanita (KWT) Bina Tani Lestari memanen tanaman jagung pulut atau ketan di Hibar Eco Village, Desa Malangnengah, Purwakarta, Jawa Barat, Jumat (11/9). Dari 33 juta petani yang ada di Indonesia, 91 persen didominasi oleh orang tua. - (ANTARA/M Ibnu Chazar)

Munjin yang juga menyukasi isu-isu lingkungan langsung tertarik ke sektor pangan dan pertanian. Ia mengakui, budidaya sayuran hidroponik tak semudah yang dilihat. Butuh waktu enam bulan untuk riset dan mencari formula yang pas agar bisa menghasilkan panen yang optimal.

"Setelah berhasil maksimal hasil panennya dan dapat respons bagus dari teman-teman, kita putuskan membentuk tim sebanyak enam orang," kata dia.

Menurutnya, bertani hidroponik tak membutuhkan lahan yang luas. Di lahan 120 meter persegi, ia bisa membuat 4.000 lubang tanam hidroponik yang menghasilkan aneka sayuran setiap bulannya. Pemasaran sayuran hidroponik pun tak sulit, karena banyaknya masyarakat yang membutuhkan sayur.

Adanya pandemi Covid-19, kata dia, pun menjadi momentum bagi masyarakat untuk menjaga kesehatan, dengan memperbanyak konsumsi sayuran. Hal itu tentu akan terus meningkatkan permintaan sayur dari para konsumen.

"Memang bagi yang tidak punya basic, butuh investasi waktu juga. Tapi saya yakin menjadi petani sangat menjanjikan sekali ketika kita tahu celah pasarnya," ujar Munjin.

Seiring minat hidroponik yang tengah naik daun, ia tak menutup diri untuk membuka pelatihan. Kata Munjin, selain untuk mengembangkan jaringan bisnis, pelatihan membawa manfaat bagi mereka yang ingin mencoba hidroponik sendiri di rumahnya.

"Siapa tahu, dengan pelatihan, orang jadi lebih peduli karena kemandirian pangan bisa dimulai dari hal yang kecil," tuturnya menambahkan.

Sementara itu, Pendiri kebun produksi dan edukasi EPTILU, Rizal Fahrevi menuturkan, di era pandemi, terbukti hanya sektor pertanian yang masih punya daya tahan tinggi. Lulusan IPB University ini menilai, sebagai generasi muda, harus melihat pertanian dengan pola yang lebih atraktif, bukan sebatas business as usual.

"Sejak 2013 berdiri, kita fokus di empat bidang, pertanian produksi, disribusi, perdagangan, dan agrowisata. Komoditasnya jeruk, tomat, dan cabai," kata Rizal kepada Republika.co.id.

Rizal pun bermitra dengan 37 petani muda dan membuat sistem perdagangan modern. Di mana, dari tahap hulu hingga hilir ditata secara rapi dan melibatkan platform digital. Menurut dia, dengan teknologi digital, semua kegiatan pertanian jadi lebih sistematis. Itu memberikan kepastian penananam, panen, dan siapa yang akan membeli.

Selain itu, kata Rizal, ia pun melibatkan perusahaan-perusahaan penyedia pupuk dan benih sebagai pemasok. Namun, tak sekadar membeli, ia meminta para ahli dari perusahaan untuk ikut membimbing petani agar hasil panen yg diperoleh bisa optimal.

Rizal mengatakan, punya tanggung jawab moral sebagai lulusan pertanian. Berbekal ilmu dan praktek di bangku kuliah, Rizal tak ragu untuk terjun ke desanya dan membangun pertanian yang lebih maju. Usahanya yang membuahkan hasil juga membuatnya dinobatkan sebagai Duta Petani Muda di Jawa Barat.

"Karena saya diamanahkan menjadi Duta Petani Muda, tentu saya tidak hanya fokus budidaya, tapi harus mengubah mindset masyarakat tentang pertanian," kata dia.

photo
Petani merawat tanaman selada (Lactuca sativa) yang dibudidayakan dengan sistem hidroponik di Kampung Lebakwana, Kramatwatu, Serang, Banten, Senin (27/7/2020). - (ANTARA/ASEP FATHULRAHMAN)

Presiden sekaligus Co-Founder Tani Hub Group, Pamitra Wineka, mengungkapkan banyak masalah yang dihadapi petani di Indonesia. Padahal, petani punya peran strategis dalam menjaga ketersediaan pangan dalam negeri yang dibutuhkan seluruh masyarakat.

Sebelum mendirikan Tani Hub, ia melihat sektor keuangan berkembang pesat untuk berbagai kegiatan usaha, kecuali pertanian. Hal itu lantaran bank tidak menyukai risiko tinggi jika memberikan pinjaman kepada petani.

Risiko tinggi itu karena proses bayar utang yang tidak lancar. Itu disebabkan karena petani kesulitan untuk mengakses pasar dalam menjual produknya yang dihasilkan dari modal pinjaman bank.

Sementara, luasan lahan yang dimiliki petani sangat kecil. Sekalipun punya tanah yang luas, hanya sebagian kecil yang digunakan karena keterbatasan modal dan sulitnya akses pemasaran.

Melihat banyaknya persoalan yang dihadapi petani, Tani Hub berdiri. Ia mengatakan, dalam kurun waktu empat tahun terakhir, Tani Hub terus memperkuat ekosistem bisnis dari hulu ke hilir yang membantu petani memasarkan produknya.

Sejauh ini, Tani Hub Group telah memiliki tiga anak usaha, yakni Tani Hub, Tani Fund, dan Tani Suplai. Ketiganya dibuat untuk saling mendukung operasional rantai pasok dari petani kepada konsumen. Tani Hub, kata dia, juga sudah membangun gudang penyimpanan di lima kota dan akan terus ditambah untuk menambah jangkauan wilayah dan petani setempat.

"Kita juga akan membangun infrastruktur langsung di daerah perkampungan. Jadi petani tidak perlu lagi jauh-jauh ke warehouse karena di desanya sudah ada," kata dia.

Lebih lanjut, kata dia, Tani Hub juga tengah mempersiapkan sistem untuk petani bisa belajar dengan petani yang lebih mahir atau dibina langsung oleh perguruan tinggi dalam dan luar negeri.

Menurut Pamitra, pengetahuan tradisional yang diperoleh petani kebanyakan masih secara turun temurun sehingga ilmu teknologi dan pengetahuan jarang diperbarui. "Jadi kita ingin menciptakan pengetahuan bagi petani," ujarnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement