REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA
Nabi SAW berseru, “Wahai para pemuda, barangsiapa yang sudah sanggup menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu obat pengekang nafsu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Tidak mampu dalam hadits ini di antaranya miskin.
Artinya, bagi pemuda yang tidak berpunya (miskin) agar menjaga pandangan dan kemaluan dengan berpuasa. Dalam konteks ini kondangan menjadi berpahala karena dapat menolong pemuda untuk segera menikah. Uang dan bingkisan yang diberikan teman, keluarga, dan tetangga dapat untuk membiayai pernikahan dan bekal sesudah nikah.
Bagi yang telah menikah, beban berat menahan nafsu dan kemaluan berubah menjadi kesenangan, selain menikah itu sendiri adalah sunah. Nabi SAW bersabda, “Menikah adalah sunahku. Barangsiapa yang tidak mengamalkan sunahku, bukan bagian dariku. Maka menikahlah kalian, karena aku bangga dengan banyaknya umatku.” (HR. Ibnu Majah).
Secara budaya, kondangan itu sejatinya adalah tradisi saling-tolong untuk membantu meringankan beban pernikahan seseorang. Secara bahasa, kondangan adalah datang untuk menghadiri pernikahan seseorang dengan memberikan hadiah berupa uang atau benda lain dalam bentuk kado atau bingkisan yang diberikan pada saat acara berlangsung atau sebelumnya.
Umumnya, yang datang kondangan sebelum acara berlangsung adalah sahabat dan keluarga dekat. Tujuannya, agar apa yang diberikan dapat digunakan sebesar-besarnya bagi suksesnya akad nikah dan walimah urus (resepsi pernikahan). Pada prinsipnya kondangan adalah hadiah yang diberikan secara tulus dengan tidak berharap dikembalikan.
Tujuan memberikan hadiah itu sendiri adalah untuk membangun hubungan baik, menyambung persaudaraan dan cinta kasih, selain untuk mendapat pahala dari Allah SWT. Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang biasa membantu hajat saudaranya, maka Allah akan senantiasa menolongnya dalam hajatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam konteks fikih Islam, mengadakan resepsi pernikahan yang mengundang banyak orang hukumnya mubah (boleh) saja. Namun bagi orang yang diundang hukumnya wajib sepanjang tidak ada halangan secara syariat. Nabi SAW berpesan, “Jika seorang dari kalian diundang ke walimah, maka hendaklah mendatanginya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud).
Inilah pembinaan Nabi SAW terhadap masyarakat muslim sampai-sampai Nabi SAW menegaskan, “Barangsiapa yang meninggalkan undangan tersebut, maka ia telah mendurhakai Allah dan rasul-Ny.a” (HR. Bukhari dan Muslim). Tujuannya, agar kuat simpul ukhuwah dan kohesi sosial di antara sesama anggota masyarakat muslim.
Kedua hadits ini kalau dibaca secara sosiologis, terkuak makna untuk memenuhi asas saling tolong-menolong yang disebut kondangan. Maka itu, ada yang berpendapat barangsiapa yang sedang dalam keadaan uzur syar’i hingga tidak dapat memenuhi undangan walimah urus seseorang, namun ia menitipkan kondangan, maka dianggap gugur kewajibannya.
Berdasarkan pandangan agama dan budaya di atas, sejatinya tujuan kondangan adalah agar diri jadi bemanfaat buat orang lain, membuat gembira pemuda yang tak berpunya, dan menyelamatkannya dari perbuatan zina. Nabi SAW bersabda, “Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia.
Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan utangnya atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beri’tikaf di masjid ini (Masjid Nabawi) sebulan penuh.” (HR. Thabrani).