REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Faksi politik di Palestina yang terpecah, Hamas dan Fatah, dan faksi lain kini bersatu menentang langkah Israel yang ditengahi Amerika serikat (AS) yang menjalin hubungan diplomatik dengan Bahrain dan Uni Emirat Arab.
Faksi-faksi di Palestina bersatu dalam pembicaraan multilateral untuk memulihkan persatuan dan memperbaiki pemisahan antara Jalur Gaza dan Tepi Barat dalam negosiasi yang jauh lebih menjanjikan daripada upaya sebelumnya. Pada Sabtu lalu, Hamas dan Fatah menyetujui gerakan kepemimpinan yang bersatu yang terdiri dari semua faksi. Itu akan memimpin perlawanan rakyat yang komprehensif terhadap pendudukan Israel.
Sebuah pernyataan yang dikutip laman Aljazirah mengatakan, perlawanan Hamas dan Fatah menyerukan hari penolakan pada Selasa (15/9). Warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat merencanakan demonstrasi day of rage atau hari kemarahan, dan protes lainnya diperkirakan terjadi di luar kedutaan besar Israel, Amerika Serikat, UEA, dan Bahrain di seluruh dunia.
Para menteri luar negeri Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain pada Selasa akan menandatangani perjanjian dengan Israel di Gedung Putih untuk menjalin hubungan penuh yang melanggar Prakarsa Perdamaian Arab. Langkah itu merupakan ancaman bagi tuntutan lama Arab agar Israel mengakhiri pendudukannya selama puluhan tahun dan menyetujui solusi dua negara dengan Palestina.
Pembentukan kelompok kepemimpinan bersama dan kemajuan dalam pembicaraan persatuan intra-Palestina terjadi setelah pertemuan 3 September yang telah lama ditunggu-tunggu antara Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas, Ismail Haniya dari Hamas, ketua Jihad Islam Ziyad al-Nakhala, dan para pemimpin dari berbagai entitas di Palestina. Pertemuan diadakan di Ramallah di Tepi Barat yang diduduki dan Beirut, Lebanon.
Hamas dan partai Palestina lainnya telah bertahun-tahun menuntut agar pertemuan tersebut dilakukan. Namun demikian, Abbas selalu menolak langkah itu, dan menyerukan Hamas untuk menghormati pakta persatuan sebelumnya terlebih dahulu.
Kendati demikian, oleh karena perjuangan Palestina akhir-akhir ini dalam menghadapi begitu banyak tantangan Abbas kemudian setuju untuk mengadakan diskusi. Tantangan tersebut yang paling penting adalah normalisasi antara negara-negara Arab dan Israel.
Anggota biro politik Hamas mengatakan, bahwa beberapa faktor yang mendorong rakyat Palestina bersatu adalah termasuk kesepakatan abad ini oleh Donald Trump, rencana aneksasi Israel atas wilayah Palestina, dan negara-negara Arab yang menormalkan hubungan dengan pendudukan.
Badran menyebut pertemuan kepemimpinan faksi-faksi Palestina sebagai langkah kemajuan besar yang menghasilkan keputusan yang jelas tentang beberapa masalah mendesak. "Desakan sejumlah negara Arab untuk menormalisasi hubungan mereka dengan negara pendudukan telah mendorong pembentukan kepemimpinan lapangan yang bersatu untuk perlawanan rakyat ke puncak agenda tindakan Palestina," kata Badran dikutip laman Aljazirah, Selasa (15/9).
Tiga komite dibentuk pada pertemuan tersebut. Pertama, berfokus pada pembentukan kepemimpinan lapangan yang bersatu untuk mengaktifkan perjuangan rakyat melawan pendudukan Israel. Kedua, bertanggung jawab untuk mencapai visi yang disepakati untuk mengakhiri pembagian antara Gaza dan Tepi Barat. Ketiga bertugas menghidupkan kembali Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).
Panitia diberi batas waktu lima pekan untuk menyampaikan rekomendasi kepada presiden Palestina. Abbas berjanji dia akan menyetujui rekomendasi apapun itu. Hamas dan Fatah telah terpecah sejak 2007 ketika Hamas menggulingkan pasukan keamanan Fatah dari Gaza menyusul ketegangan berbulan-bulan.
Berbagai upaya telah dilakukan sejak saat itu untuk menjembatani jurang pemisah antara keduanya, tetapi tidak ada yang membuahkan hasil. Hubungan antara Hamas dan Fatah telah melihat peningkatan yang signifikan akhir-akhir ini.
Dalam beberapa bulan terakhir, dua gerakan utama Palestina, didorong oleh rencana aneksasi Israel, terlibat dalam pembicaraan positif yang berpusat pada penolakan terpadu atas rencana Israel-Amerika.
"Upaya persatuan Palestina datang pada waktu yang sangat sensitif, di mana perjuangan Palestina dihadapkan pada ancaman dan tantangan yang serius dan strategis, dimulai dengan upaya pemerintah Amerika untuk memaksakan fakta di lapangan untuk melegitimasi pendudukan Israel, dan rencana Israel untuk mencaplok Tepi Barat," ujar analis politik Palestina Husam al-Dajani.