REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski menjadi salah satu dari tujuh orang pertama yang menyatakan keislaman secara terbuka atau terang-terangan, nama Miqdad mungkin lebih jarang diceritakan dibandingkan kisah sahabat-sahabat Rasulullah SAW lainnya. Kisah Miqdad nyatanya tak jauh berbeda dengan Bilal bin Rabbah.
Miqdad yang sejatinya merupakan seorang pemikir ulung harus menanggung penderitaan atas siksaan yang diterimanya dari kaum Quraisy. Namun berkat pemikiran dan hati yang tulus pada Islam, Miqdad yang serta merta meninggalkan keyakinannya hanya karena siksaan yang menimpanya. Sebaliknya, Miqdad semakin meneguhkan keyakinan pada agama yang dibawa Rasulullah SAW.
Hingga suatu hari, Rasulullah mengamanatkan Miqdad untuk memimpin suatu daerah dan melantiknya sebagai seorang Amir (pemimpin). Miqdad pun mengemban amanat tersebut dengan sangat baik, hingga sampai suatu ketika saat Miqdad kembali dari tugasnya, Rasulullah bertanya, "Bagaimanakah pendapatmu tentang menjadi amir."
Dengan jawaban yang jujur, Miqdad mengatakan bahwa dia tidak ingin meneruskan amanat sebagai amir. Keputusan ini diambil, karena menurut dia dengan menjadi pemimpin kedudukannya berada di atas dari orang lain. Berbeda dengan kebanyakan orang yang ingin menempati posisi tertinggi, Miqdad justru tidak menginginkan hal itu.
"Anda telah menjadikanku menganggap diriku berada di atas semua manusia. Demi yang telah mengutus Anda membawa kebenaran, sejak saat ini aku tidak berkeinginan lagi menjadi pemimpin sekalipun untuk dua orang untuk selama-lamanya," ucap Miqdad, dikutip dari buku Kisah Seru 60 Sahabat Rasul karangan Ummu Akbar.
Semenjak menempati posisi sebagai Amir, Miqdad memang selalu dikelilingi oleh kemewahan dan sanjungan dari banyak orang. Namun hal tersebut dipahaminya sebagai suatu kelemahan yang dapat menjauhkannya dari agama.
Miqdad akhirnya memantapkan diri untuk menghindarinya dengan cara mundur dari jabatannya sebagai Amir, meskipun sebelumnya Miqdad telah menjalankan tugasnya sebagai pemimpin dengan baik. Maka dari itu, saat Rasulullah menawarkan kembali jabatan tersebut, Miqdad menolaknya.
Meski begitu, kecintaan Miqdad terhadap Islam sangat besar. Dia memiliki tanggung jawab penuh terhadap bahaya yang selalu mengancam, baik dari tipu daya musuh maupun kekeliruan kawan sendiri.