REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: T.M. Luthfi Yazid, Vice President Kongres Advokat Indonesia (KAI)
Biasanya pukul 3 atau 4 pagi di rumah itu sepi saja, karena penghuninya hanya sepasang suami istri yang sudah sepuh. Namun, pada hari Kamis, 17 September 2020, pukul 3 pagi rumah itu sedikit agak ramai. Saya yang biasanya hampir setiap pagi mondar-mandir untuk menghirup udara segar di seputaran komplek perumahan berhenti sejenak.
Ternyata, di rumah itu ada duka. Sang penghuni rumah, Alwi Shahab atau Abah Alwi, yang kadang disapa juga dengan Habib Alwi atau di kalangan juniornya wartawan Republika sering disaba Babe, wafat dalam usia 84 tahun. Inna lillaahi wa inna ilaihi roji’uun. Semuanya dari Allah, ujung-ujungnya akan kembali kepada Allah.
Alwi Shahab bagi saya selain sebagai tetangga rumah juga seperti orang tua yang memiliki kesan mendalam tersendiri. Saya pernah mengajak mantan jaksa agung dan hakim agung Abdul Rahman Saleh (Arman) untuk silaturahim ke rumahnya. Kemudian banyaklah mereka berdua bercerita tentang kenangan masa lalu tentang dunia kewartawanan dan lain-lain.
Saya juga mengajak ayah saya untuk ngobrol-ngobrol dengan almarhum di rumahnya. Bahkan tempat tinggal yang saya tempati —saat itu masih lahan kosong-- beliaulah yang menyarankan kepada saya untuk dibeli.
Sebagaimana menjadi perhatiannya, kalau berjumpa atau saya lagi bertandang ke rumahnya, beliau banyak bercerita tentang masa lalu, sejarah, terutama sejarah Betawi (Jakarta). Pengetahuan beliau tentang sejarah dan kebudayaan Betawi sangat luar biasa, malahan pada saat ini mungkin sudah tidak ada lagi sejarawan atau pengamat Betawi yang pengetahuannya seperti beliau.
Pengetahuan Abah Alwi soal budaya Betawi dan seluk-beluknya seperti kamus berjalan. Meluncur dari bibirnya cerita-cerita detil sejarah Jakarta.
Abah Alwi bercerita banyak kepada saya tentang sejarah Condet, tempat kami tinggal. Menurut Abah, dahulu, setelah Maghrib, kawasan Condet sepi dari hilir mudik manusia. Masyarakat di kawasan Condet sangat relijius; biasa sholat berjamaah di masjid-masjid maupun surau.
Banyak langgar, pesantren dan sekolah-sekolah agama di daerah ini. Perayaan keagamaan, seperti Idul Fitri, Idul Adha, 1 Asyura, 10 Asyura, Maulid Nabi, Nisfu Sya’ban, dan Isra’Mi’raj sangat terbiasa diadakan. Peringatan Maulid Nabi, yang dewasa ini sering membuat macet daerah Condet, sebenarnya sudah diselengarakan begitu lama dan diadakan di banyak masjid.
Wilayah Condet dahulu termasuk kecamatan Pasar Rebo dan saat ini termasuk Kecamatan Kramat Jati. Wilayah ini dahulu dikenal sebagai penghasil duku, salak dan melinjo.
Luas kebun daerah ini dahulu 798 hektar dan sisanya adalah sawah. Hal ini menjadi salah satu alasan ditetapkannya Condet sebagai Cagar Budaya oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada tanggal 3 April 1976, karena 90 persen dari masyarakat Condet adalah Betawi.
Ada dua Keputusan Gubernur tersebut yang penting, yaitu: pertama, Keputusan Gubernur Kepala Daerah Ibukota Jakarta No. D.IV-1511/e/3/74 tentang Penetapan Kampung yang Diperkembangkan sebagai Daerah Tempat Tinggal Baru di Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Dalam Keputusan Gubernur tersebut daerah Condet termasuk daerah yang diperkembangkan secara terbatas, karena dikenal sebagai daerah buah-buahan yang harus dipertahankan. Kedua, Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No: D.I.-7903/a/30/75 tentang Penegasan Penetapan Kelurahan Condet Batu Ampar, Kelurahan Condet Balekambang, Kelurahan Kampung Tengah, Kecamatan Kramatjati, Wilayah Jakarta Timur sebagai Daerah Buah-Buahan.