REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Pengamat politik Universitas Andalas Najmuddin Rasul menilai pelaksanaan Pilkada serentak 2020 terkesan dipaksakan. Ia khawatir, pelaksanaan Pilkada hanya asal jadi sehingga pesta demokrasi daerah ini gagal melahirkan pemimpin terbaik.
"Saya khawatir pelaksanaan Pilkada asal jadi saja. Karena terasa dipaksakan. Sehingga Pilkada kali ini dapat memunculkan pemimpin yang tidak capable," kata Najmuddin kepada Republika, Senin (28/9).
Najmuddin menyebut pelaksanaan Pilkada di saat pandemi belum berakhir akan sangat riskan. Terlebih saat ini begitu tahapan Pilkada sudah sampai pada masa kampanye, angka penambahan kasus positif Covid-19 di Indonesia termasuk Sumatra Barat masih tinggi. Menurut dia, petugas yang akan melaksanakan Pilkada akan merasa takut sehingga tidak maksimal dalam menjalankan tugas.
Selain itu, potensi konflik juga akan tinggi. Misalnya ada paslon atau tim kampanye yang melanggar protokol Covid kena tegur oleh petugas, bisa menciptakan perselisihan karena tim dari paslon pasti ingin memperlihatkan kekuatan dengan pengumpulan masa yang banyak.
Kemudian, angka partisipasi politik warga saat hari pemilihan kata Najmuddin juga akan berpotensi mengalami penurunan. Dengan kata lain angka golongan putih (Golput) akan tinggi. Karena warga yang sadar dengan ancaman Covid-19 akan enggan datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) atau datang ke acara pertemuan-pertemuan politik.
"Target KPU 76 persen partisipasi warga akan silit tercapai. Kalau angka partisipasi warga hanya di bawah 50 persen, maka legitimasi kepemimpinan jadi rendah," ucap Najmuddin.
Tahapan Pilkada di Sumbar sudah memasuki masa kampanye sejak Sabtu (26/9) kemarin. Masa kampanye akan berlangsung sampai 5 Desember 2020 mendatang. Setelah itu akan berlanjut pada tahapan pemungutan suara atau pencoblosan pada 9 Desember 2020.