Selasa 29 Sep 2020 13:14 WIB

Klaster Pendidikan Dikeluarkan dari RUU Cipta Kerja

Rancangan klaster pendidikan dinilai kontraproduktif dan merugikan dunia pendidikan.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Agus Yulianto
Ketua Dewan Guru Besar Universitas Gadjah Mada, Prof Koentjoro.
Foto: Wahyu Suryana.
Ketua Dewan Guru Besar Universitas Gadjah Mada, Prof Koentjoro.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Sejumlah guru besar dari berbagai perguruan tinggi mengapresiasi dikeluarkannya klaster pendidikan di RUU Cipta Kerja. Pasalnya, rancangan klaster pendidikan kontraproduktif dan merugikan kemajuan dunia pendidikan.

Ketua Dewan Guru Besar UGM, Prof Koentjoro, menyambut, baik sikap pemerintah dan DPR yang akhirnya mau mendengar masukan-masukan, termasuk dari akademisi. Usai dicabutnya klaster pendidikan, dia meminta pemerintah dan DPR konsisten.

"Konsisten tidak lagi memasukkan substansi pengaturan pendidikan nasional baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau peraturan lain yang merupakan derivasi dari RUU Cipta Kerja," kata Koentjoro dalam webinar Telaah Kritis Guru Besar atas RUU Cipta Kerja Sektor Pendidikan dan Kebudayaan, Selasa (29/9).

Dia mendorong Komisi X melakukan inisiasi segera menggagas revisi RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang baru lewat model Omnibus Law. Sebab, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional kurang akseleratif.

"Berlaku hampir 17 tahun, kurang akseleratif respons persoalan dan tantangan disrupsi pendidikan pada masa kini dan mendatang. Perlu penyesuaian dengan dinamika perubahan zaman dalam konteks kekinian dan kemasadepanan," ujar Koentjoro.

Senada, Guru Besar IPB, Prof Ari Purbayanto mengatakan, usai dikeluarkannya klaster pendidikan dalam RUU Cipta Kerja ini akademisi perlu lakukan revisi sisdiknas. Diperlukan dalam rangka penguatan sistem pendidikan di Indonesia.

Guru besar UPI, Prof Cecep Darmawan, turut menekankan pendidikan merupakan sektor publik, jadi tidak ada tujuan komersialisasi. Sedangkan, Guru Besar Unpad, Prof Ganjar Kurnia, mengkritisi hilangnya frasa kebudayaan di RUU Cipta Kerja.

"Dalam draft RUU Cipta Kerja tidak terlihat frasa kebudayaan, padahal untuk menciptakan SDM unggul perlu wawasan kebangsaan dan bela negara, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Jika ada perguruan tinggi asing boleh masuk apakah ini akan diajarkan lagi," kata Ganjar.

Bahkan, lanjut Ganjar, dalam RUU ini perguruan tinggi asing tidak diberikan aturan harus memberi muatan-muatan penting ke peserta didik. Mulai dari muatan pendidikan agama, bahasa Indonesia sampai kewarganegaraan.

"Meskipun ini tujuannya untuk meningkatkan daya saing dan ekonomi semata, sementara pendidikan karakter diabaikan dan meninggalkan nilai kebudayaan dari tujuan pendidikan nasional," ujar Ganjar. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement