Sabtu 03 Oct 2020 16:10 WIB

Rajungan Sumbang Devisa Rp 6 Triliun

Bisnis rajungan mempekerjakan 90 ribu nelayan dan 185 ribu pekerja perempuan.

Nelayan mengumpulkan rajungan hasil tangkapan di Karangsong, Indramayu, Jawa Barat, Selasa (18/2/2020).
Foto: Antara/Dedhez Anggara
Nelayan mengumpulkan rajungan hasil tangkapan di Karangsong, Indramayu, Jawa Barat, Selasa (18/2/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR --  Rajungan mempunyai peran strategis dalam perekonomian Indonesia. Tidak hanya berupa devisa, tapi juga penyerapan tenaga kerja.

“Rajungan merupakan komoditas ekspor perikanan utama  Indonesia. Tahun 2019, rajungan menyumbang devisa Rp 6 triliun,” kata Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS pada webinar Quarterly Meeting (Q3) yang diadakan Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia (APRI), Sabtu (3/10).

Rokhmin menambahkan, bisnis rajungan mempekerjakan  lebih kurang 90 ribu nelayan dan lebih kurang 185 ribu perempuan dalam pemrosesan, pengemasan, dan penjualan.

Ia juga mengungkapkan, rajungan memiliki beberapa keistimewaan.  “Rajungan memiliki kemampuan pemulihan stok yang cepat karena usia reproduksi yang cepat. Sementara itu, permintaan domestik dan ekspor akan rajungan cenderung meningkat over time. Usaha penangkapan dan budidaya rajungan membangkitkan multiplier effects yang cukup besar,” paparnya seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id.

photo
Seorang nelayan menunjukkan rajungan tangkapannya di Pantai Pegagan, Pameksan, Jatim, Jumat (11/3). - (Antara/Saiful Bahri)

Rokhmin menyebutkan, Indonesia  merupakan produsen terbesar rajungan di dunia, dengan share hingga 49,5 persen  produksi dunia pada 2018. Periode 2006-2018, produksi rajungan semakin meningkat rata-rata 24,6 persen  per tahun.

“Periode 2015-2019, ekspor kepiting-rajungan Indonesia didominasi oleh produk olahan (secara volume rata-rata 52,3 persen dan secara nilai rata-rata nilai 70,2 persen),” kata ketua umum Masyarakat Akuakuktur Indonesia (MAI) itu.

Namun, kata Rokhmin, pengembangan rajungan di Indonesia masih menghadapi tantangan dan permasalahan. Pertama, sebelum pandemi Covid-19, permintaan domestik maupun ekspor rajungan dan produk olahan rajungan meningkat dari tahun ke tahun.  Dan, tren  ini diperkirakan akan terus meningkat.  “Namun, sejak pandemi Covid-19 (Maret 2020), ekspor rajungan menurun,” ujar ketua Dewan Pakar Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) itu.

Kedua, meskipun belum ada data tentang tren  konsumsi (pasar) dalam negeri, tetapi diperkirakan menurun selama pandemi ini. Ketiga, ancaman terhadap keberlanjutan (sustainability) sumber daya rajungan di alam (laut) akibat eksploitasi berlebihan, fishing technology yang tidak ramah lingkungan, pencemaran laut, dan degradasi ekosistem pesisir.

Keempat, pengetahuan, kesadaran, dan kapasitas nelayan untuk melakukan responsible fisheries (penangkapan yang ramah lingkungan, mencatat dan melaporkan hasil tangkapan/logbook) umumnya masih rendah. Kelima, sementara itu, tekonologi budidaya rajungan (pembenihan dan pembesaran) belum begitu berkembang, risiko masih cukup tinggi, sehingga usaha penangkapan masih lebih menguntungkan (menarik). Keenam, persyaratan tentang standar kualitas, keamanan pangan (food safety), traceability, ramah lingkungan, dan sertifikasi (seperti MSC, Seafood Watch, dan SFP Rating) dari negara-negara tujuan ekspor semakin ketat. 

Koordinator Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020-2024 itu lalu memaparkan strategi pengembangan perajungan Indonesia. Yaitu, selama pandemi, pemerintah membantu peningkatan konsumi dan pasar domestik rajungan via paket bansos dan stimulus ekonomi; implementasi Pengelolaan Rajungan Berkelanjutan berbasis WPP dan Permen KP N0.12/2020; pemenuhan kebutuhan bahan baku Unit Pengolahan ikan (UPI) melalui penambahan armada tangkap, kapal angkut, percepatan perijinan, perluasan usaha budidaya; kemudahan ijin pemasukan bahan baku untuk tujuan ekspor (terutama komoditas sub tropis); peningkatan nilai tambah melalui pengendalian ekspor rajungan utuh beku; dan peningkatan kepatuhan pemenuhan persyaratan ekspor negara tujuan (Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan/SHTI, Marine Mammals Protection Act, dan lain-lain).

Selain itu, Rokmin menambahkan, partisipasi pada pameran internasional dan branding produk Indonesia untuk  pasar ekspor di pasar tradisional dan non-tradisional;  menyelenggarakan Marine and Fisheries Business and Investment Forum setiap bulan di KKP; kerja sama market intelligence dengan instansi/lembaga di luar negeri; fasilitasi pengajuan stimulus dan insentif fiskal untuk investasi Kelautan dan Perikanan; dan penyediaan aplikasi sistem telusur stok rajungan dan produk perikanan.

Di samping itu, diplomasi penanganan hambatan ekspor dan penurunan tarif bea masuk ekspor (Jepang, EU, EFTA, Iran, Australia, RCEP); peningkatan nilai tambah produk melalui pembangunan Sistem Rantai Dingin (integrated cold storage, cold storage, dan lainnya); dan peningkatan kompetensi SDM Kelautan dan Perikanan. 

“Hal yang tidak kalah pentingnya adalah membangun spirit ‘Indonesia Blue Swimming Crab Incorporated’,” ujar Prof Dr Rokhmin Dahuri.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement