Jumat 09 Oct 2020 22:54 WIB

Misi Ilmuwan Nasrani Gali Ilmu-Ilmu Islam Saat Perang Salib

Terdapat ilmuwan Nasrani yang melakukan penggalian ilmu Islam saat Perang Salib

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
Terdapat ilmuwan Nasrani yang melakukan penggalian ilmu Islam saat Perang Salib Sains Islam (ilustrasi)
Terdapat ilmuwan Nasrani yang melakukan penggalian ilmu Islam saat Perang Salib Sains Islam (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Dinasti Ayyubiyah mungkin tak setua wangsa-wangsa lainnya dalam sejarah peradaban Islam. Usianya tidak sampai 100 tahun, tetapi legasi yang ditinggalkannya tak lekang dimakan waktu.

Ada berbagai kemajuan yang diwujudkan kerajaan tersebut. Dalam bidang pendidikan, misalnya, rezim yang dirintis Sultan Shalahuddin al-Ayyubi itu berhasil menjadikan Damaskus sebagai kota mercusuar ilmu pengetahuan. 

Baca Juga

Hal itu antara lain ditandai dengan berdirinya Madrasah al-Shauhiyyah jantung daerah Syam itu pada 1239 M. Lembaga tersebut menjadi sentra pengajaran empat mazhab fikih terkemuka dalam ahlus sunnah wa al-jama'ah. Sebelumnya, Darul Hadits al-Kamillah juga dibentuk pada 1222 M untuk mengembangkan studi hukum Islam.  

Seperti halnya kota-kota kebudayaan Islam pada masa keemasan, Damaskus juga bercorak kosmopolitan. Alhasil, cahaya peradaban tidak hanya menyinari umat Islam, melainkan juga komunitas agama-agama lain. 

Sebagai contoh, perjalanan keilmuan yang dilakukan Adelardus Bathensis, seorang Nasrani asal Bath, Inggris. Ia melakukan perjalanan dari satu kota ke kota lainnya di Syam untuk mengumpulkan ilmu pengetahuan yang dipelajari para sarjana Muslim.  

Untuk diketahui, rihlah yang dijalani Adelardus berlangsung di tengah bayang-bayang Perang Salib. Fakta bahwa ilmuwan Kristen itu dapat dengan leluasa mengakses perpustakaan atau pusat-pusat keilmuan di Syam wilayah kekuasaan Ayyubiyah membuktikan Perang Salib bukanlah suatu perang agama, yang dilandasi kebencian, katakanlah, antara umat Nasrani dan Islam.

Malahan, yang kerap terjadi ialah kontak budaya antara dua masyarakat yang berbeda iman itu. Adelardus Bathensis dikenang sebagai intelektual Barat pertama yang memperkenalkan sistem angka Arab ke Eropa. Ia juga menerjemah kan banyak manuskrip yang ber ba hasa Arab ke bahasa Latin. Dengan begitu, terjadilah transfer macam-macam ilmu pengetahuan, mulai dari kedokteran, astronomi, hingga filsafat. 

Karakteristik terbuka juga diberlakukan Dinasti Ayyubiyah dalam bidang perdagangan dan industri. Dalam menghadapi kaum Salibis, para pemimpin militer Muslim, mulai dari Shalahuddin hingga Sultan al- Kamil, tidak mengambil opsi the winner takes all.  

Malahan, mereka kerap membuka ruang dialog dan perundingan dengan para agresor yang berbeda iman itu. Hasilnya, gencatan senjata kerap terjadi sehingga menjadi masa jeda bagi komunitas Muslim dan Kristen untuk saling berinteraksi, termasuk dalam dunia perniagaan. 

Untuk pertama kalinya, bangsa Eropa mengenal sistem moneter Muslim yang jauh lebih kompleks pada masa itu. Sebagai contoh, adanya sistem bank atau letter of credit sehingga seorang pedagang tak perlu repot-repot membawa emasnya di setiap kota yang disinggahi. Orang-orang Eropa juga menyaksikan, industri tumbuh dengan subur di negeri Islam.  

Mereka lantas meniru atau mengadopsi berbagai teknologi yang dirintis Muslimin, semisal teknik pembuatan kertas, kain, karpet, atau kincir air untuk irigasi lahan pertanian. Sejak 1260, Bani Ayyubi dihantam dua kekuatan sekaligus, yakni Dinasti Mamluk di Mesir dan serangan bangsa Mongol atas Syam. 

Mamluk merupakan mantan pasukan budak Ayyubiyah yang akhirnya memberontak dan berhasil merebut kekuasaan. Terkait ancaman Mongol, memang itu sudah terasa sejak pertengahan abad ke-13. Bahkan, dua tahun sebelum jatuhnya Syam, jantung Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad telah hancur lebur oleh serbuan bangsa dari Asia Timur itu. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement