REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andri Saubani*
Robert Todd Carroll dalam bukunya Becoming A Critical Thinker mengutip pesan George Orwell (1984), yang mengingatkan kita agar tidak hanya berhati-hati terhadap penggunaan bahasa politik yang sengaja dibuat kabur tapi juga melawan penyalahgunaan bahasa; penggunaan eufemisme, jargon, dan bahasa tidak jelas/membingungkan (gobbledygook). Ketiganya lazim disebut doublespeak.
Dalam polemik penyusunan, pembahasan, hingga pengesahan omnibus law UU Cipta Kerja (Ciptaker) yang berujung pada demo besar dan rusuh pada 8 Oktober lalu, langgam doublespeak banyak digunakan baik oleh DPR dan pemerintah. Terlepas dari benar atau tidaknya klaim pemerintah bahwa UU Ciptaker nantinya akan membawa Indonesia menuju pada kemajuan ekonomi ‘yang meroket’, faktanya omnibus law lahir sebagai produk politik yang memunculkan banyak kritik khususnya soal transparansi proses legislasi.
Omnibus law UU Cipta Kerja mungkin menjadi UU yang paling cepat dibahas (kurang dari setahun) dalam sejarah DPR. Sejak menerima draf RUU Cipta Kerja pada Februari lalu, DPR langsung mengebut pembahasan secara maraton. Bahkan ketika pembahasan masuk pada klaster ketenagakerjaan atau yang paling terakhir dibahas, Badan Legislasi (Baleg) DPR sampai rela rapat setiap hari sampai larut malam termasuk pada akhir pekan.
Semangat menggebu DPR untuk sesegera mungkin menuntaskan pembahasan RUU Ciptaker berbanding terbalik dengan tradisi capaian buruk target legislasi DPR selama ini. Kondisi pandemi Covid-19 pun tak jadi penghalang para anggota dewan untuk menggelar rapat-rapat baik di DPR atau hotel dengan dalih tetap menerapkan protokol kesehatan.
Pada tahap ini, eufemisme kerap dilontar para anggota Baleg DPR, bahwa omnibus law diperlukan sebagai, “Harmonisasi dan sinkronisasi rancangan peraturan di Indonesia”. Frasa harmonisasi dan sinkronisasi pastinya akan terdengar atau terbaca lebih beradab, meski yang terjadi sesungguhnya adalah upaya membuldozer puluhan bahkan ratusan pasal dalam banyak UU yang telah ada selama ini. Itu mengapa omnibus law selalu dijuluki sebagai UU sapu jagat.
Pengesahan UU Ciptaker berdampak terhadap 1.203 pasal dari 79 undang-undang terkait, dan terbagi dalam 7.197 daftar inventarisasi masalah. Dalam perjalanan pembahasan mulai dari 20 April sampai dengan 3 Oktober 2020, ada tujuh undang-undang yang akhirnya dikeluarkan dari RUU.
Menurut Carroll, eufemisme dalam politik biasanya digunakan untuk membuat langkah dan kebijakan yang buruk menjadi terlihat baik atau setidaknya tidak terkesan terlalu jahat. Dalam konteks RUU Ciptaker, argumentasi semacam “Sudah sesuai tata tertib”, “Merujuk pada mekanisme pembahasan UU”, di antara yang kerap dilontarkan anggota DPR jika pers atau publik mengkritisi transparansi pembahasan RUU Ciptaker yang memang terkesan tertutup dan mengabaikan partisipasi publik, setidaknya dalam hal sulitnya akses terhadap draf RUU dan naskah akademik.
Setelah kebijakan dari pemangku kekuasaan telah ditetapkan, kemudian dimunculkanlah jargon-jargon dan gobbledygook untuk memberikan efek kompleksitas wacana agar menjadi penting, plus penggunaan bahasa kabur yang membuat khalayak menjadi bingung dan luput dari kebenaran yang bisa jadi disembunyikan. Kondisi itu tercermin dalam pidato-pidato atau pernyataan elite setelah RUU Cipta Kerja disahkan menjadi UU pada Rapat Paripurna DPR, 5 Oktober lalu.
Oleh pemerintah, UU Ciptaker diklaim sebagai solusi agar "Indonesia keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap)", oleh karena itu "hiperegulasi" haruslah dipangkas menjadi "one get policy" demi terbangunnya "ekosistem investasi" yang berujung pada perluasan lapangan kerja. Jargon-jargon yang masih sebatas klaim itu kemudian ditutup dengan tudingan bahwa demo menolak UU Ciptaker merebak karena adanya disinformasi dan banyaknya hoaks. Publik atau kalangan yang kontra pun menjadi bingung karena hingga kini, draf final UU Ciptaker seakan masih 'disembunyikan'.
*penulis adalah Jurnalis Republika.