REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Priyantono Oemar
Pada 14 Oktober 1904, pimpinan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) di Batavia mengirim surat kepada perdana menteri Cina di Beijing. Ia ingin memastikan informasi telah dihapuskannya kewajiban bertaucang (kucir rambut dikepang yang menjuntai di punggung).
THHK dibentuk pada 1900 untuk mengukuhkan identitas Cina bagi orang-orang Cina di Batavia. Di Hindia Belanda, praktik ilegal menanggalkan kucir sudah ada sejak dua dekade terakhir pada abad ke-19.
Achmad Djajadiningrat bercerita di buku Herinneringen van Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat (1936), saat akan bersekolah di Batavia pada awal 1890-an ia bertemu dengan pemuda Cina yang sudah membuang kucirnya. Pemuda itu cukup akrab berbicara bahasa Belanda dengan Engelberg Aspirant controleur di Cilegon yang membawa Djajadiningrat bersekolah di Batavia.
Pemuda Cina itu memiliki adik seusia Djajadiningrat, juga sudah membuang kucirnya dan mengenakan pakaian Eropa. Namanya Piet. Dari Piet ini, Djajadiningrat tahu bahwa kakak Piet bisa akrab dengan Engelenberg karena mereka teman semasa di HBS.
Seorang Cina dari Semarang yang tinggal di Banda, Tan Boe Koe, dikabarkan Soerabaijasch Handelsblad edisi 27 November 1886 sudah membuang kucirnya. Anak-anaknya pun sudah tak berkucir. Ia menjadi panutan orang Cina di Banda.
Pada pengujung abad ke-19, Dinasti Qing dari Manchuria masih berkuasa di Cina. Dinasti inilah yang di awal kekuasaannya pada abad ke-17 mewajibkan orang Cina menggunduli kepala bagian depan dan membiarkan rambut bagian belakang memanjang lalu mengepangnya. Jika menolak aturan ini, hukumannya penggal kepala.
Ini memang tradisi orang-orang Manchuria karena mereka masyarakat pemburu yang terbiasa naik kuda. Dengan menggunduli rambut bagian depan dan mengepang rambut bagian belakang, membuat mereka nyaman berkuda karena rambut tak akan menutup muka karena terpaan angin.
Pada pengujung abad ke-19 itu, gerakan revolusi sedang berkecamuk di Cina yang menginginkan republik sebagai bentuk negara menggantikan kekaisaran. Gerakan ini juga didukung oleh orang-orang Cina di Hindia Belanda. Organisasi Khek Beng Tong di Semarang, misalnya, berhasil menggalang dana 200 ribu gulden untuk mendukung gerakan revolusi itu.
Ketika pada akhir 1910 utusan Cina pergi ke London, mereka sudah mengenakan pakaian Eropa, tetapi masih bertaucang. Keinginan memotong taucang dan diperbolehkan mengenakan pakaian Eropa yang diajukan ke Kaisar ditolak pada 1 Januari 1911.
Namun, pada Mei 1912 Majelis Nasional Cina memutuskan perwira junior boleh memilih jenis pakaian mereka, tetapi perwira tinggi harus mengenakan pakaian Eropa: kemeja, dasi, jas, celana panjang, sepatu. Pada 1 Januari 1912, republik telah berdiri menggantikan kekaisaran.
Sebelum ada keputusan ini di Cina, saat perayaan pecun, Juni 1906, menurut Sumatra-Bodeedisi 25 Juni 1906, ada 50 baba berkumpul di Kampung Durian, Padang. Mereka berkumpul, bersama-sama memotong kucir rambut untuk selamanya.