REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan pilkada langsung seperti yang sekarang ini dinikmati masyarakat sebenarnya melewati proses yang panjang dan berliku. Ia menjelaskan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui proses eksperimentasi yang selalu berubah dengan segala dinamikanya.
Hal itu disampaikan Mahfud saat menjadi "keynote speech" Konferensi Nasional Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (KISIP) 1 yang digelar The Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang berlangsung secara daring, Rabu (14/10).
Menurut dia, pernah ada satu masa saat tata hukum Indonesia belum tertib. Hal itu menyebabkan pelaksanaan pilkada berbeda-beda bergantung tempat dan waktu sehingga muncul UU Pemilihan Kediri, UU Pemilihan Klaten, dan UU Pemilihan Yogyakarta.
Semasa pemerintahan Bung Karno pernah ada UU Nomor 1/1957 yang isinya memisahkan kepala daerah dengan kepala wilayah. "Kepala daerah adalah pengemban otonomi daerah dan dipilih langsung oleh rakyat. Sama seperti sekarang. Namun, sebelum UU itu diimplementasikan, terjadi pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru," katanya.
Pada masa Orde Baru, kata dia, kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) meski dalam praktiknya yang menentukan sosok kepala daerah adalah ABG (ABRI, birokrasi, dan Golkar). "Ada stabilitas, tetapi dianggap tidak demokratis karena penentu-nya itu-itu saja, yakni ABG; ABRI, birokrasi, dan Golkar. Meskipun, formal-nya lewat DPRD. Itu menjadi sistem politik dan ambruk saat reformasi 1998," papar dia.
Memasuki Orde Reformasi, kata dia, DPRD memiliki kekuasaan yang luas, yakni berhak memilih kepala daerah secara final, serta berhak mengevaluasi dan menjatuhkan kepala daerah jika dianggap tidak bertanggung jawab. Dalam praktiknya, kata dia, ternyata sistem semacam itu melahirkan praktik politik uang karena partai bisa melakukan jual beli kursi terhadap calon kepala daerah.
Sistem pilkada kemudian diubah menjadi pemilihan langsung oleh rakyat seperti sekarang ini, kata dia, meskipun dalam praktiknya tetap ada plus dan minusnya. Sisi negatifnya, Mahfud mencontohkan banyak yang menunggu "serangan fajar" dari paslon, adanya penyalahgunaan jabatan, dan sebagainya.
Akan tetapi, kata dia, banyak juga sisi positifnya, seperti partisipasi rakyat dalam pemilihan semakin bagus dan rakyat memiliki hak sepenuhnya sebagai pemilih. Kemudian, ideologi tidak lagi tersekat-sekat, seandainya terjadi polarisasi kekuasaan di pusat antara koalisi dan oposisi tidak akan berimbas langsung ke daerah dengan pola yang sama.
Karena itu, Mahfud mengajak seluruh pihak untuk terus menyempurnakan sistem pelaksanaan pilkada agar semakin bagus dan berkualitas dalam jangka panjang.