Kamis 15 Oct 2020 15:42 WIB

HAM di antara Prabowo dan Amerika Serikat 

Pegiat HAM menyampaikan kekhawatiran terhadap keputusan Deplu Negeri AS.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Agus Yulianto
Menteri Pertahanan Indonesia, Prabowo Subianto, bertolak ke Amerika pada Kamis (15/10) untuk memenuhi undangan Menteri Pertahanan Amerika. Prabowo selama dua dekade masuk daftar hitam Amerika karena diduga sebagai pelaku pelanggaran HAM.
Foto: EPA
Menteri Pertahanan Indonesia, Prabowo Subianto, bertolak ke Amerika pada Kamis (15/10) untuk memenuhi undangan Menteri Pertahanan Amerika. Prabowo selama dua dekade masuk daftar hitam Amerika karena diduga sebagai pelaku pelanggaran HAM.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pertahanan Republik Indonesia (Menhan RI), Prabowo Subianto, mulai hari ini hingga 19 Oktober 2020 akan beraktivitas di Amerika Serikat (AS). Dia mengaku, menghormati segala kritikan, penolakan, dan sebagainya terkait langkah tersebut.

"Pak Prabowo mulai dari tanggal 15 sampai dengan tanggal 19 beraktivitas di AS," ujar Juru Bicara Menhan RI, Dahnil Anzar Simanjuntak, lewat keterangan pers, Kamis (15/10).

Dahnil menyatakan, Prabowo akan bicara tentang kerja sama pertahanan antara AS dan Indonesia serta melanjutkan berbagai kerja sama yang sudah dilakukan selama ini. Di sana, Prabowo akan bertemu dengan banyak pihak, terutama terkait dengan pertahanan di AS.

"Terkait dengan adanya pihak-pihak yang menolak, mengkritisi, saya pikir silakan saja. Pak Prabowo sudah mengalami penolakan dan tuduhan macam-macam selama beliau bertugas sebagai abdi negara, juga bertugas sebagai politisi," kata Dahnil.

Menurut Dahnil, Prabowo menghormati penolakan, kritikan, dan sebagainya terkait keputusan tersebut. Yang jelas, kata dia, Prabowo di AS memenuhi undangan pemerintah AS untuk memperkuat kerja sama pertahanan antara Indonesia dengan AS.

Sejumlah pegiat hak asasi manusia (HAM) menyurati Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (Menlu AS), Michael R Pompeo, terkait keputusan pemerintah AS mencabut larangan masuk terhadap Prabowo Subianto. Keputusan itu dinilai dapat melanggar hukum Leahy dan akan menjadi bencana bagi HAM di Indonesia.

"Dengan membebaskan dia berpergian ke AS untuk menemui pejabat senior AS, bisa melanggar Hukum Leahy dan akan menjadi bencana bagi HAM di Indonesia," ujar salah satu perwakilan dari para pegiat HAM yang juga sebagai Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti, dalam surat tersebut, Kamis (15/10).

Dia menjelaskan, para pegiat HAM menulis surat tersebut untuk menyampaikan kekhawatiran terhadap keputusan Departemen Luar Negeri AS yang memberikan visa kepada Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan Republik Indonesia (Menhan RI), untuk datang ke Washington DC menemui Menhan AS, Mark Esper, dan Ketua Kepala Gabungan Staf AS Mark Milley.

Fatia menjelaskan, Prabowo merupakan mantan menantu mendiang Presiden Soeharto, pemimpin berlatar belakang militer yang memerintah di Indonesia selama 31 tahun dari 1967 sampai 1998. Prabowo bertugas sebagai komandan pasukan khusus di bawah Soeharto dan terlibat dalam kejahatan terhadap HAM, termasuk penculikan aktivis pro-demokrasi selama beberapa bulan menjelang berakhirnya pemerintahan Soeharto.

Dia mengatakan, penyelidikan independen resmi yang diberikan mandat untuk menyelidiki pelanggaran serius terhadap HAM di tahun 1998 menyimpulkan, Prabowo sebagai komandan pasukan khusus sadar akan pelanggaran tersebut, dan bertanggung jawab secara penuh atas penculikan aktivis pro-demokrasi di tahun 1997-1998. Tuduhan terhadap Prabowo Subianto tidak pernah diadili di pengadilan.

"Keputusan Pemerintah AS di tahun 2000 yang memasukkan Prabowo ke daftar hitam karena pelanggaran HAM merepresentasikan komitmen yang sangat penting terhadap HAM. Kebijakan Pemerintah AS selama 20 tahun terakhir telah membawa harapan dan pertolongan bagi korban yang mengalami penyiksaan dan perlakuan buruk lain di bawah satuan yang dipimpin Prabowo," jelas dia.

Karena itu, para aktivis HAM ini meminta agar undangan untuk Prabowo harus dibatalkan jika keputusan itu memberikan kekebalan terhadap kejahatan yang dituduhkan kepadanya. Jika dia memang berniat datang ke AS, maka berdasarkan Konvensi Menentang Penyiksaan Pasal 5 Ayat 2 pemerintah AS memiliki kewajiban untuk menyelidikinya.

Dan jika memang mendapatkan bukti yang cukup bahwa Prabowo bertanggung jawab atas kejahatan penyiksaan tersebut, maka pemerintah AS harus membawanya ke pengadilan atau mengekstradisinya ke negara lain yang bersedia menggunakan yurisdiksi terhadap tuduhan kejahatannya.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement