REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sepanjang sejarah, tarekat telah berkembang dinamis menyikapi gejolak zaman. Tarekat berarti tradisi sufi atau jalan spiritual (tasawuf). Tarekat juga sering diartikan persaudaraan sufi, sebuah organisasi sosial sufi yang memiliki anggota dan sejumlah peraturan, serta berpusat pada hadirnya seorang mursyid (guru). Di dunia Islam, gerakan ini mulai berkembang pesat pada abad ke-12.
Perkembangan itu tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosio-historis masyarakat Muslim. Sebagian memilih jalan tarekat sebagai bentuk asketisme, protes atas hedonisme di istana-istana khalifah. Sebagian yang lain memandang tarekat dapat menjadi jalan perbaikan di tengah kemunduran kaum Muslim, seperti yang dilakukan Syekh Abd al-Qadir al-Jailani pada abad ke-12.
Majid Irsan al-Kilani dalam Hakadza Zhahara li Shalahiddin wa Hakadza Mat al-Quds, mengatakan, kelahiran generasi Shalahuddin tidak lepas dari peran al-Jailani dengan jejaring tarekatnya. Tarekat di sini menjadi ruang penggodokan semangat jihad dan iman pemuda Muslim.
Akan tetapi, kini tarekat sering dicitrakan kolot, tradisional, tidak punya sensitivitas sosial-politik, dan apolitis. Padahal, sejarah menunjukkan peran besar kaum tarekat di berbagai negara dalam perjuangan politik melawan kolonialisme. Mereka turut andil mengawali kebangkitan dan pembentukan negara.
Azyumardi Azra dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (ed. Taufik Abdullah) menulis, penetrasi dan kolonisasi Eropa ke dunia Islam, khususnya sejak abad ke-19, adalah salah satu faktor penting yang mendorong terjadinya perubahan dalam tasawuf dan tarekat.
Tantangan militer, politik, intelektual, dan kebudayaan Barat sebagai ancaman bagi umat Muslim secara khusus sangat terasa di kalangan tasawuf dan tarekat. Ekspansi kolonialisme Barat ini mendorong politisasi dan radikalisasi tarekat. Karena itu, di berbagai tempat, kaum tarekat gigih melawan kolonialisme Barat.
Sebelum masuk ke peran politik, peran sufisme pertama-tama telah tampak dalam proses Islamisasi. Misalnya, penyebaran Tarekat Qadiriyah dan Syadziliyah pada awal abad ke-20 di kawasan Afrika Timur dan daerah lepas pantai Afrika Timur, seperti Tanganyika, Somalia Selatan, Zaire Timur, Mozambique, Malawi, Kepulauan Comoros, dan Madagaskar barat daya.
Meski menghadapi oposisi dengan tarekat lain, Tarekat Qadiriyah di bawah pimpinan Syekh Uwais bin Muhammad al-Barawi berhasil mengislamkan sebagian wilayah Somalia. Khususnya, suku Rahanwayn di wilayah Lembah Juba.
Istilah tarekat menjadi sinonim dengan masuk Islam. "Di wilayah-wilayah ini, Tarekat Qadiriyah menjadi gerakan Islam paling terkemuka dan terus giat melakukan Islamisasi di kalangan suku-suku asli Afrika yang tidak atau belum sepenuhnya tersentuh Islam," catat Azra.
Islamisasi di Afrika Selatan juga identik dengan penyebaran tarekat, khususnya sejak zaman Syekh Yusuf al-Makassari, ulama asal Makassar yang dibuang ke Cape Town karena perlawanannya terhadap Belanda dalam Perang Banten. Sebagai mursyid berbagai tarekat, Syekh Yusuf menyebarkan praktik tasawuf di kalangan kaum Muslim Cape Town.
Seorang misionaris Belanda yang menyelidiki Islam di Afrika Selatan, Samuel M Zmewer, dalam "Islam at the Cape Town" (1925), menemukan kekuatan Islam di wilayah ini terletak pada Tarekat Qadiriyah, Rifa'iyah, Khalwatiyah, Syadziliyah, dan Chistiyah. Perkembangan Islam di Afrika Selatan kian intensif dengan kedatangan berbagai guru tarekat sepanjang abad 18-awal sampai abad ke-20. Sejumlah kawasan lain, seperti India, Indonesia, dan Asia Selatan mencatatkan cerita serupa.