REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad As'adi, Senior Wartawan Republika
Tahun 70-an, ketika saya masih duduk di bangku SMP, saya ikut aktif dalam sebuah organisasi pelajar yang demikian patriotik, berkarakter kuat, militan dan ‘non underbow’. Saya pernah mengikuti TC, Batra sampai PKP. Organisasi ini adalah Pelajar Islam Indonesia (PII).
Ketika saya tercatat sebagai pengurus wilayah Yogyakarta, organisasi ini sempat dinonaktifkan karena kesibukan saya di sekolah. Apalagi kala itu, organisasi PII meski hanya sebuah orgnasisasi pelajar, tak bisa lepas dari tatapan mata elang pemerintahan orde baru. Bahkan acapkali dicap sebagai organisasi oposan.
Meski tumbuh dalam situasi banyak tekanan, nyatanya PII mampu melahirkan banyak tokoh nasional, seperti Jusuf Kalla, Hidayat Nur Wahid, Dahlan Iskan, Sutrisno Bachir, Muhdi PR, Rahmad Ismail, Sofyan Djalil, Fuad Bawazier, Yusri Ihza Mahendra, Hatta Radjasa, Jimly Asshiddiqie, Kivlan Zen, Syarwan Hamid, Mahfud MD dan masih banyak lagi.
Bahkan di era orde lama , PII menjadi pilar perjuangan menentang keras kebijakan Soekarno membubarkan Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia( HMI), atas tekanan PKI dan kaum nasionalis.
Bayangkan saja anak-anak pelajar SMP dan SMA, turun jalan dengan gagah berani melakukan perlawanan terhadap kebijakan Bung Karno membela para mahasiswa. Bayangkan saja ketika mereka harus berhadap hadapan dengan tentara.
Dan satu peristiwa penting dalam sejarah PII, yaitu peristiwa Kanigoro 13 januari 1965. Kanigoro adalah Sebuah desa di Kediri Jawa Timur yang dikenal sebagai daerah basis PKI.
Dalam acara latihan mental tingkatan Mantra, di saat salat subuh di sebuah masjid dan asrama peserta pelatihan, mendadak terjadi hiruk pikuk. Massa BTI dan Pemuda Rakyat, organsasi sayap PKI menyerbu.
“Karena agak kelelahan, saya dan beberapa teman bersembahyang di asrama. Dingin udara dan air wudhu yang menggigilkan tubuh tak mengurangi kekhusyukan salat kami,” tulis Anis Abiyoso (hlm. 1). Pengurus PII Jawa Timur, dalam bukunya ‘Teror Subuh di Kanigoro—
Sayangnya, kekhusyukan itu diganggu para penggeruduk. Anis ingat ada suara tembakan yang memecah keheningan di subuh yang dingin.
“Ketika saya sedang dalam posisi duduk tasyahud, tiba-tiba terdengar suara gebrakan keras. Pintu kamar saya didobrak, diiringi teiakan-teriakan 'Bunuuuh! Bunuuuh! Ganyanggg!' Saya membaca shalawat dan salam. Salatpun selesai, dan sebuah tendangan menghantam punggung saya,” tulis Anis.
“Bangun, ayo! Bangun!” teriak penggruduk. Mereka berpakaian lusuh dan bersenjata tajam juga mengobrak abrik masjid. Anis yakin, gerombolan penggeruduk itu pasti masuk masjid tanpa lepas alas kaki. Sepatu-sepatu dan sandal-sandal, juga kaki telanjang yang kotor, menginjak lantai masjid seenaknya.
Peristiwa Kanigoro kemudian dijadikan prolog filem G 30 S PKI, besutan Arifin C Noor. Saya jadi ingat, setiap kali mengikuti training, baik TC, Batra , PKP, maupun Mantra, karena dijaman orde baru selalu kucing-kucingan dengan tentara dan polisi. Oleh karenanya pelatihan selalu diadakan di pelosok-pelosok desa terpencil. Kami bergerak secara ‘underground’-.
Ada pemicu semangat yang membuat jiwa dan hati muda kami selalu berkobar dan tak gentar, Yaitu mars PII , sebuah syair yang demikian patriotik yang sudah lama tak pernah saya dengar lagi di kalangan pelajar Islam kita. Isinya begini:
Mengenangkan Nasib perjuangan
sebangsa dan setanah airku
aku meninggalkan kemewahan
aku maju terus menyerbu
jangan........kembali pulang (PII)
kalau sebelum menang
walau mayat terhampar di medan juang...
itulah PII berjuang.
tinggalah ayah tinggalah Ibu
relakan daku pergi berjuang
di bawah naungan panji Islam
sampai agama Islam cemerlang
Uniknya, ketika terngiang itu jantung saya kembali berdegup saat ini. Saya membaca kabar dari Jakarta bila Markas PII yang ada di Menteng itu diserbu oleh pihak tertentu saat ada demonstrasi massa menolak RUU Cipta kerja. Saya lihat kantor itu porak poranda.
Apa yang sedang terjadi sih sebenarnya?