REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menegaskan bahwa penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) masker dari kain masih bersifat sukarela bagi produsen di dalam negeri, yang ingin mendapatkan Sertifikasi Produk Penggunaan Tanda Standar Nasional Indonesia (SPPT SNI).
Penegasan itu disampaikan karena belakangan muncul kekhawatiran, khususnya di kalangan pelaku industri kecil dan menengah (IKM) terkait kewajiban sertifikasi (SNI) masker dari kain. Dengan demikian IKM tetap diperbolehkan membuat masker dari kain, tetapi dianjurkan untuk berpedoman pada parameter SNI 8914:2020 secara sukarela.
“Kami sampaikan kembali bahwa tujuan penetapan SNI ini adalah sebagai pedoman bagi industri dalam negeri untuk memproduksi masker kain dengan spesifikasi atau parameter yang ada di dalam SNI 8914:2020 tersebut, sehingga dapat mencegah penyebaran Covid-19 dengan lebih baik dan lebih aman digunakan masyarakat,” Kata Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kemenperin Elis Masitoh di Jakarta, Rabu (21/10).
Ia mengatakan masker yang sudah ada tetap dapat beredar, namun tidak diperkenankan mencantumkan tanda SNI sebelum mendapatkan sertifikat SPPT SNI dari Lembaga sertifikasi Produk (LSPro). Dalam SNI 8914:2020, masker dari kain diklasifikasikan menjadi tiga tipe, yaitu tipe A untuk penggunaan umum, tipe B untuk penggunaan filtrasi bakteri, dan tipe C untuk penggunaan filtrasi partikel.
Selain itu, masker tersebut juga setidaknya harus memiliki minimal dua lapis kain yang terbuat dari kain tenun dan kain rajut dari berbagai jenis serat tekstil. SNI 8914:2020 tidak berlaku untuk masker yang dipergunakan untuk bayi maupun masker yang terbuat dari kain nir-tenun (nonwoven).
SNI 8914:2020 menyebutkan bahwa masker dari kain dapat digunakan dalam aktivitas di luar rumah, atau saat berada di ruangan tertutup seperti kantor, pabrik, tempat perbelanjaan, maupun transportasi umum.
"Tanda SNI yang tercantum pada masker kain merupakan informasi kepada masyarakat dan diharapkan memberikan rasa aman terhadap jaminan kualitas, spesifikasi, dan kemampuan produk dalam melindungi pemakainya,' kata Elis.
Sebelum SNI 8914:2020 ditetapkan, tidak ada pedoman atau parameter untuk pengujian SNI masker dari kain, sehingga industri yang ingin mengetahui kualitas produknya belum bisa mengujikan masker yang dihasilkan. SNI tersebut dirumuskan dalam waktu kurang dari lima bulan, mengingat kebutuhan masker dari kain meningkat pesat di masa pandemi Covid-19.
Dalam rangka pengurusan sertifikat SPPT SNI, ia menjelaskan saat ini terdapat beberapa LSPro, baik milik pemerintah maupun LSPro swasta yang sedang mengajukan permohonan penunjukan sebagai tempat uji kepada BSN.
“Kami sangat mengapresiasi minat masyarakat terhadap SNI masker kain ini. Sebagai informasi, Balai Besar Tekstil (BBT) Bandung di bawah Kemenperin juga telah mengajukan proses penunjukan tersebut. Bahkan saat perumusan SNI ini, sebagian besar pengujian kain dilakukan di laboratorium BBT Bandung,” ujar Elis.
Ia juga mengatakan industri bisa berkonsultasi pengujian SNI produk masker kain diperlukan untuk menghindari tambahan biaya yang tidak diperlukan.