REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Presiden Prancis Emmanuel Macron menyerahkan kepercayaan memimpin penumpasan ekstremisme di negaranya kepada tokoh dari kelompok sayap kanan. Sosok tersebut adalah Menteri Dalam Negeri Prancis, Gerald Darmanin.
Setelah insiden pemenggalan kepala guru bernama Samuel Paty oleh ekstremis di pinggiran Kota Paris, Darmanin semakin gencar menyuarakan upaya membasmi ekstremis. Pria 38 tahun itu kerap muncul di hadapan publik untuk berbagai pernyataan.
Sayangnya, berbagai pernyataan bias dari Darmanin berpotensi memicu sentimen terhadap komunitas Muslim secara umum. Dia bertekad mempertahankan gaya hidup Prancis yang khas dan ingin mengurangi beberapa identitas yang terkait dengan Muslim.
Visi Darmanin untuk langkah tersebut mencakup pengurangan gerai daging halal, toko pakaian etnis, dan lorong supermarket spesialis. Dia mengaku terkejut ketika memasuki supermarket dan melihat rak yang dikhususkan untuk satu komunitas.
Menurut Darmanin, pilihan itu tidak selalu berkontribusi pada kebaikan bersama. Usai kasus Paty, dia pun melontarkan pernyataan tajam. "Prancis sedang berperang. Pertanyaannya bukan: akankah ada serangan lagi? Pertanyaannya adalah: kapan?" kata dia.
Keputusan Macron memilih Darmanin disinyalir menjadi usaha memenangkan suara kalangan konservatif untuk Pemilu 2022. Lawan Macron adalah nasionalis sayap kanan Marine le Pen, yang sudah menyatakan akan mencalonkan diri.
Pada Juli 2020, Macron menyerahkan portofolio keamanan penting kepada Darmanin, yang memiliki latar belakang kelas pekerja. Dia juga merupakan keturunan Afrika Utara, serta sangat berkomitmen terhadap nilai-nilai sekuler Prancis.
Dia banyak terinspirasi gagasan sang kakek, seorang Muslim kelahiran Aljazair yang dia sebut sebagai "pahlawan Republik". Pada 2016, Darmanin menulis esai tentang sekularisme dan Islam yang didedikasikan untuk sang kakek.
Bukan Islam yang tidak bisa dia tolerir, kata Darmanin, tetapi ekstremisme. Saat masih menjadi Wali Kota Tourcoing di Prancis utara, Darmanin pernah mendukung pembangunan masjid baru dan memberikan pidato pada pembukaannya.
Darmanin muncul di panggung nasional sebagai anak didik mantan presiden sayap kanan, Nicolas Sarkozy, dan mengecam Macron selama kampanye pemilihannya. Ketika itu, dia menyebut Macron sebagai "racun" untuk negara karena sebuah insiden terkait Aljazair.
Alih-alih menyimpan dendam, Macron menghadiahinya posisi di Kementerian Anggaran, sebelum mengangkatnya menjadi Menteri Dalam Negeri. Beberapa pihak sempat tidak nyaman dengan itu karena Darmanin tersandung kasus tuduhan pemerkosaan sejak 2009.
Tuduhan tersebut ditolak oleh hakim investigasi, tetapi baru-baru ini dibuka kembali setelah banding di pengadilan Paris. Darmanin bersikeras kasus itu atas dasar suka sama suka, dan Macron mengatakan dia percaya pada Darmanin.
Ketika berita tentang pembunuhan Paty ramai di layar televisi Prancis, Darmanin berada di pesawat dalam perjalanan pulang. Dia baru kembali dari Rabat untuk membahas kasus migrasi ilegal dengan pejabat Maroko.
Dia bergegas ke TKP, berdiri di dekat Macron yang menyatakan bakal membela nilai-nilai Prancis dan berjanji menghentikan aksi kelompok Islam radikal. Sayangnya, mereka meremehkan banyak akar penyebab radikalisasi.
Keluhan kesenjangan di bidang sosial, politik, dan ekonomi, juga rasa ketidakadilan dan diskriminasi, sukar dienyahkan. Profesor di Institut Ilmu Politik Prancis Sciences Po, Haoues Seniger, tidak yakin Darmanin bisa memperbaiki masalah di lapangan.
"Menteri dalam negeri datang dan pergi, situasinya tidak berubah. Anda dapat mendidik orang di sekolah dan piawai debat, tetapi Anda tidak dapat mengatur pandangan seseorang terhadap dunia," kata Seniger, dikutip dari laman BNN Bloomberg.
Sumber:
https://www.bnnbloomberg.ca/france-picks-right-wing-emblem-to-lead-crackdown-on-islamists-1.1512464