REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Persiapan menuju gerbang Kerajaan Allah SWT, para hamba sudah seharusnya datang dengan hati yang salim atau bersih.
إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ “Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”
Situasi ini akan terasa berat bagi mereka yang datang dengan keadaan hatinya mati.
Hati mati diakibatkan telah terabaikannya kesempatkan untuk melakukan amal kebajikan. Hati akan terus menyala-nyala jika seseorang tidak melewatkan waktu-waktunya untuk selalu berbuat amal kebajikan.
Terlebih manusia diciptakan memang untuk saling menanam kebajikan. Kebajikan, hanya mungkin ditananam jika ada pihak yang bersedia menerima kebaikan.
Demikian sebaliknya, kejahatan hanya mungkin muncul jika ada interaksi kita dengan sekitar. Untuk memastikan kita berada di jalan yang tepat, penting kita simak nasihat allamah Ibnu 'Athaillah.
مِنْ عَلاَمَاتِ مَوْتِ الْقَلْبِ عَدَمُ الْحُزْنِ عَلَى مَا فَاتَكَ مِنَ الْمُوَافِقَاتِ وَتَرْكُ النَّدْمِ عَلَى مَا فَعَلْتَهُ مِنْ وُجُوْدِ الزَّلاَتِ.
Min 'alamati mautil qalbi 'adamul huzni 'ala ma fataka minal muwafiqat wa tarkun nadami 'ala ma fa'altahu Min wujudiz zallat
(Di antara tanda matinya hati adalah tidak adanya perasaan sedih atas kesempatan beramal yang engkau lewatkan dan tidak adanya penyesalan atas pelanggaran yang engkau lakukan).
Syekh Fadhlallah Haeri menyebut ada beberapa penyebab utama matinya hati, di antaranya cinta kepada dunia, kurang dalam hal kehati-hatian, serta memperturutkan hawa nafsu. Cinta kepada dunia adalah pangkal utama yang menyebabkan seseorang mengabaikan kehidupan akhirat.
Kegemaran yang begitu dalam akan dunia, menyebabkan seseorang menaruh hati kepadanya sehingga ia akan menjadi tawanannya. Bersikap sederhana adalah langkah penting yang harus dilakukan agar kita bisa melepaskan diri jerat kehidupan dunia. Berlebih-lebihan adalah kebalikan bersikap sederhana.
Demikian pula, hilangnya sikap hati-hati dan terperangkapnya kita oleh hawa nafsu, akan semakin mempercepat proses kematian hati kita. Hati yang mati akan sulit tersentuh oleh situasi yang menyakitkan sekalipun. Karena sulit tertentuh, akan sulit pula seseorang memiliki empati terhadap manusia di sekitarnya.
Kalau tidak memiliki empati, akan terasa sulit pula bagi seseorang untuk bergiat dalam amal saleh. Hanya dengan amal saleh, hati seseorang bisa terus dihidup-hidupkan sebelum tiba waktu “atallaha biqalbin salim” (datang menemuni Allah dengan hati yang salim).
Penting bagi kita untuk selalu menaruh penyedih di dalam hati. Penyedih akan berfungsi sebagai timbangan dan alat ukur. Dalam Taurat, Allah berfirman, “Jika Allah mencintai seorang hamba, Dia akan menempatkan penyedih dalam hatinya. Jika Dia membenci seorang hamba, Allah akan menempatkan seruling alias pembuai di dalam hatinya.”
Setiap ditimpa kesedihan, sufi besar Daud At-Tho'y akan berdoa pada malam hari. “Kerinduanku kepada-Mu membuat diriku gelisah dan sedih.” Allah menjawab, “Bagaimana mungkin bagi seseorang yang penderitaannya diperbarui setiap saat, akan mencari penghiburan dari kesedihan.
*Naskah ini merupakan cuplikan dari artikel almarhum KH Hasyim Muzadi di Harian Republika.