REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Pertanian dari IPB University, Muhammad Firdaus, meminta pemerintah untuk mengawal ketat kerja sama yang diatur antara korporasi petani dengan perusahaan swasta di food estate hortikultura, Sumatera Utara. Tanpa pengawalan, petani terancam menjadi pihak yang dirugikan.
"Seharusnya food estate bisa win-win kalau kontraknya dikawal oleh pemerintah sebagai penengah. Kalau dibiarkan tanpa pengawalan, bisa saja posisi tawar petani lemah," kata Firdaus kepada Republika.co.id, Rabu (28/10).
Firdaus mengatakan, pembangunan food estate memang harus bekerja sama dengan petani yang berkorporasi. Hal itu agar manfaat dari hasil budi daya yang dilakukan bisa dirasakan oleh masyarakat setempat. Ia juga menekankan agar pembentukan korporasi petani dilakukan dengan tepat.
Korporasi akan berjalan jika sesuai dengan kebutuhan dasar petani. Sebab, petani itu sendiri yang akan mengelola korporasinya sendiri untuk bisa berkembang sesuai potensi setempat. "Prinsipnya dari, oleh, dan untuk petani itu harus bisa berjalan dan berdasarkan kebutuhan petani," kata Firdaus.
Ia menambahkan, Kabupaten Humbang Hasundutan memang sejak 10 tahun terakhir sudah menginginkan adanya kawasan lumbung pangan yang dikembangkan khusus untuk komoditas hortikultura. Diketahui, komoditas yang akan ditanam yakni bawang merah, bawang putih, dan kentang.
Menurutnya, ketiga komoditas itu bisa dikembangkan di wilayah Humbang Hasundutan. Hanya saja, harus dalam skala luas agar masuk dalam nilai keekonomian.
Khusus untuk bawang putih yang kerap menjadi polemik, Firdaus mengatakan, bawang putih masih potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Hanya saja, membutuhkan keberpihakan dari industri olahan makanan maupun hotel, restoran, dan katering untuk menggunakannya.
Sementara itu, untuk pasar konsumen rumah tangga, masih cukup sulit karena masyarakat saat ini menilai komoditas bawang putih dari ukuran. "Rumah tangga kita melihat bawang putih lebih ke penampakannya, kalau harga sih sebetulnya tidak beda jauh," ujarnya.