REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Berulang kali diancam, dibom dan diserang dalam serangan yang menewaskan belasan anggota staf, tetapi surat kabar Prancis satir Charlie Hebdo tidak berhenti mengolok-olok Islam.
Banyak kritikus surat kabar di seluruh dunia mengatakan staf editorialnya selalu berusaha menyerang Islam. Orang-orang yang bekerja untuk Charlie Hebdo selalu menyerukan intoleransi, penindasan, dan bentuk politik Islam yang mengancam demokrasi.
Dengan dalih kebebasan berekspresi, publikasi tersebut masih rutin mendorong batas-batas undang-undang ujaran kebencian Prancis dengan karikatur seksual eksplisit yang menyerang atau menyinggung hampir semua orang. Charlie Hebdo telah banyak menerbitkan konten yang mencela para migran anak yang meninggal, korban virus, pecandu narkoba yang sekarat, para pemimpin dunia, neo-Nazi, paus, uskup, pemimpin Yahudi, dan tokoh agama, politik, dan hiburan lainnya.
Mingguan ini menampilkan kartun pemakaman guru yang dipenggal, menunjukkan petugas membawa dua peti mati, satu untuk tubuh, satu untuk kepala. Sejak persidangan dibuka bulan lalu atas serangan 2015 yang menewaskan 12 kartunisnya, surat kabar tersebut mencatat persidangan setiap hari dan menghabiskan hampir setengah dari sampul mingguannya untuk mengejek ekstremisme.
“Kami membutuhkan tindakan yang kuat untuk menghentikan ekstremisme, tetapi juga untuk mengutuk tindakan sekecil apa pun, kata-kata yang tidak toleran atau penuh kebencian terhadap orang-orang Prancis dari latar belakang imigran. Karena Prancis tidak terbagi antara Muslim dan non-Muslim, antara beriman dan non-Muslim, antara orang-orang dengan akar Prancis dan orang Prancis dari latar belakang imigran. Tidak, Prancis terbagi antara demokrat dan anti-demokrat,” tulis salah seorang editor Charlie Hebdo, Riss dalam editorialnya, Rabu (28/10).
Sebenarnya sirkulasi surat kabar ini terbilang kecil, ditambah banyak orang Prancis menganggapnya menjijikkan atau ekstrem, tetapi tetap mempertahankan haknya untuk hidup. Edisi Charlie Hebdo yang paling ditentang dan menimbulkan kemarahan karena mencetak ulang karikatur Nabi Muslim Muhammad yang awalnya diterbitkan oleh majalah Denmark pada 2005.
Kartun-kartun itu dipandang sebagai penghinaan dalam Islam. Banyak Muslim di seluruh dunia merasa benar-benar terluka olehnya tetapi mengutuk kekerasan yang datang sebagai tanggapannya.