REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Pemuatan kartun nabi yang dilakukan Charlie Hebdo di Prancis harus menjadi pembelajaran untuk masyarakat luas. Negara penganut bebas berpendapat perlu berpikir ulang tentang fenomena tersebut.
"Karena tidak ada kebebasan yang mutlak, kebebasan mesti terbatas, meskipun tidak ada yang membatasi," kata Ketua Prodi S2 Komunikasi FISIP, Universitas Brawijaya (UB), Rahmat Kriyantono melalui pesan resmi, Ahad (1/11).
Peristiwa penghinaan nabi melalui kartun bukan pertama kali terjadi. Kasus ini selalu berulang di beberapa negara Eropa seperti Denmark dan Perancis. Pemuatan kartun-kartun tersebut ditunjukkan untuk kebebasan berekspresi dan berpendapat bagi masyarakat.
Doktor lulusan school of Communication Edith Cowan University, Western Australia, ini menilai, media massa sudah seharusnya memahami makna kebebasan pers. Kebebasan pers bukan berarti bebas tanpa batasan. Akan tetapi, bebas yang bertanggung jawab dalam memajukan bangsa, menjaga harmoni dan keutuhan bangsa serta masyarakat dunia.
Kebebasan media massa harus dapat mempertimbangkan dampak negatif yang mungkin timbul dari berita yang dimuatnya. Oleh sebab itu, pembuatan kartun sebagai bentuk ekspresi individu seharusnya ada batasnya. "Yakni jangan sampai mengganggu kepercayaan umat Islam. Kebebasan pers harus menghormati kebebasan beragama orang lain," jelasnya.
Rahmat berpendapat, Presiden Prancis seharusnya meminta maaf karena elemen masyarakatnya yang melukai hati umat Islam. Di sisi lain, umat Islam juga harus bijak dalam meresponsnya. Sebab, aksi pemenggalan yang dilakukan satu oknum tetap salah dan lebih baik diselesaikan melalui jalur hukum.
Aksi pembunuhan dilakukan seorang pemuda terhadap guru sekolah menengah terjadi di pinggiran kota Paris pada Jumat (16/10) sore. Guru tersebut diketahui telah menunjukkan kepada murid-muridnya tentang kartun Nabi Muhammad sebagai materi kebebasan berekspresi di kelasnya.