Rabu 04 Nov 2020 13:37 WIB

Perang Berkecamuk, Banyak Anak di Suriah Menikah Dini

Fenomena pernikahan di bawah umur meningkat karena perang di Suriah

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Esthi Maharani
Ilustrasi Pernikahan Dini
Foto: MGROL100
Ilustrasi Pernikahan Dini

REPUBLIKA.CO.ID, IDLIB -- Angka pernikahan di Idlib Suriah meningkat akibat krisis yang terjadi. Fenomena pernikahan di bawah umur meningkat di barat laut Suriah wilayah Idleb karena perang dan memburuknya kondisi kehidupan. Banyak yang kehilangan pendidikan dan diperlakukan dengan buruk.

Peningkatan angka pernikahan di bawah umur ini juga dilandasi kepercayaan sosial bagi para gadis bahwa satu-satunya pilihan dalam hidup adalah menjadi ibu rumah tangga dan melayani suaminya. Hal ini pula yang dialami Suhayla Arafat, 16 tahun, yang tinggal di rumah keluarga suaminya di kota Sarmada, Idlib sejak menikah 4 bulan lalu.

"Kakak perempuan saya berusia 30 tahun saat dia menunggu seorang suami, jadi keputusan ayah tentang saya adalah saya menikah saat masih di bawah umur," kata Suhaila kepada North Press, dilansir di The Syrian Observer, Rabu (4/11).

"Takut akan menjadi perawan tua adalah penyebab langsung pernikahan dini saya, tetapi ketakutan akan masa depan yang tidak diketahui karena perang adalah alasan terpenting," kata Suhaila menambahkan.

Pernikahan di bawah umur untuk anak perempuan tidak hanya terjadi di pedesaan, tetapi juga di perkotaan. Terutama ketika keluarga tidak peduli dengan pendidikan anak perempuan dan percaya bahwa anak perempuan memiliki kesempatan lebih baik untuk menikah di usia yang lebih muda.

Bara'a al-Omar, 15 tahun, yang berasal dari kota Khan Sheikhoun, meninggalkan sekolah untuk memasuki perkawinannya setahun yang lalu. Dia mengatakan tekanan psikologis meningkat setiap hari karena ada perbedaan dengan suaminya.

"Ketika saya mengeluh kepada keluarga saya, ayah saya menegur saya dan meminta saya untuk bersabar," katanya.

Bara'a sendiri menikah ketika dia berusia 14 tahun, dan suaminya 11 tahun lebih tua darinya. Dia mengatakan bahwa yang dia ketahui tentang pernikahan hanyalah gaun putih dan permata yang berkilauan, tetapi tiba-tiba dia menghadapi tanggung jawab yang besar.

"Anak yang tumbuh di dalam rahimku membuatku meninggalkan ide-ide gelap yang kumiliki untuk menyingkirkan dominasi ayah dan suami," ucapnya.

Pernikahan di bawah umur juga terlihat di kamp pengungsian, karena tak sedikit anak perempuan berhenti sekolah. Pendidikan seringkali tidak menjadi prioritas bagi para pengungsi, yang hanya mementingkan keamanan mata pencaharian mereka.

Abd al-Hay al-Asfar, 40 tahun, seorang penduduk kota Khan al-Sabil di pedesaan selatan Idleb, mengatakan telah menikahkan ketiga putrinya meski usia mereka masih muda. Pernikahan tersebut dilakukan setelah dia pindah ke kamp lain secara acak di Wilayah Deir Hassan.

"Setelah pemindahan saya, saya menjadi pengangguran, dan saya memutuskan untuk menikahkan anak perempuan saya, yang tertua berusia 17 tahun, untuk meyakinkan mereka, karena nasib gadis-gadis di masyarakat kita adalah rumah suaminya," tambahnya.

Namun, dia sekarang meratapi putri tengahnya, yang pernikahannya hanya berlangsung lima bulan dan berakhir dengan perceraian. Sebab suaminya tidak memiliki moral dan hati nurani. Si suami 9 tahun lebih tua dari istri.

Kemudian barulah diketahui, ternyata pria tersebut sudah menikah dan punya anak serta bergantung pada orang tuanya untuk membiayai istri dan anak pertamanya. Anak perempuan itu mengalami semua jenis penyiksaan dan penghinaan di rumah suaminya. Dia dimarahi dan dipukuli untuk alasan sepele.

Para ahli memperingatkan tentang efek dan konsekuensi pernikahan di bawah umur pada anak perempuan khususnya dan masyarakat pada umumnya. Jihan Matar, sosiolog dari Ma'arat al-Numan, mengatakan perang Suriah telah membuat pernikahan di bawah umur diizinkan, sehingga peran wanita terbatas pada tugas-tugas menikah dan melahirkan anak.

Dia mengingatkan, masalah sosial yang serius ini terjadi karena hilangnya kesempatan pendidikan bagi anak perempuan. Lalu menyebabkan generasi buta huruf. Apalagi sebagian besar dari mereka yang menikah dini ujung-ujungnya bercerai tanpa bisa membela diri dengan menempuh jalur hukum.

Matar menjelaskan, tubuh gadis muda tidak siap untuk perubahan fisiologis yang menyertai kehamilan dan melahirkan. Ini menyebabkan banyak penyakit fisik dan psikologis seperti depresi, ketegangan, dan kecemasan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement