Ahad 08 Nov 2020 09:21 WIB

Muhaimin Kenang WS Rendra dengan Baca Puisi

Muhaimin baca puisi WS Rendra soal sengkarut kehidupan sosial

Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar membacakan puisi WS Rendra di Cafe Sastra, Jakarta Timur (7/10).
Foto: muhammad subarkah
Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar membacakan puisi WS Rendra di Cafe Sastra, Jakarta Timur (7/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- WS Rendra memang telah meninggal dunia beberapa tahun silam. Meski begitu sosoknya ternyata tetap hidup di sanbubari masyarakat, termasuk seperti dalam diri Muhaimin Iskandar.

Dalam dalam acara bertajuk 'Rindu Rendra' di Cafe Sastra Jakarta Timur, Sabtu (7/11), Wakil Ketua DPR sekaligus Ketua Umum PKB itu mengenang 'Si Burung Merak' ini dengan baca puisinya dengan penuh penghayatan.

Dalam soal puisi semua tahu  Rendra kerap memproduksi puisi pamflet tentang keadaan masyarakat, termasuk kemunafikan politik. Bahkan dalam puisinya pun kerap menyoal keadaan masyarakat meski mengungkapkannya dengan puisi bergaya liris.

 

 Semalam, Muhaimin memiih puisi Rendra yang relatif baru termasuk baru sebelum dia wafat. Puisi itu berjudul: 'Inilah Saatnya'. Begini isi puisi tersebut selengkapnya:

Inilah Saatnya

(Karya W.S. Rendra)

 

Inilah saatnya

melepas sepatu yang penuh kisah

meletakkan ransel yang penuh masalah

dan mandi mengusir rasa gerah

menenangkan jiwa yang gelisah.

 

Amarah dan duka

menjadi jeladri dendam

bola-bola api tak terkendali

yang membentur diri sendiri

dan memperlemah perlawanan.

Sebab seharusnya perlawanan

membuahkan perbaikan,

bukan sekadar penghancuran.

 

Inilah saatnya

meletakkan kelewang dan senapan,

makan sayur urap

mengolah pencernaan,

minum teh poci,

menatap pohon-pohon

dari jendela yang terbuka.

 

Segala macam salah ucap

bisa dibetulkan dan diterangkan.

Tetapi kalau senjata salah bicara

luka yang timbul panjang buntutnya.

Dan bila akibatnya hilang nyawa

bagaimana akan membetulkannya?

 

Inilah saatnya

duduk bersama dan bicara.

Saling menghargai nyawa manusia.

Sadar akan rekaman perbuatan

di dalam buku kalbu

dan ingatan alam akhirat.

Ahimsa,

tanpa kekerasan menjaga martabat bersama.

Anekanta,

memahami dan menghayati

keanekaan dalam kehidupan

bagaikan keanekaan di dalam alam.

 

Menerima hidup bersama

dengan golongan-golongan yang berbeda.

Lalu duduk berunding

tidak untuk berseragam

tetapi untuk membuat agenda bersama.

 

Aparigraha,

masing-masing pihak menanggalkan pakaian

menanggalkan lencana golongan

lalu duduk bersama.

Masing-masing pihak hanya memihak

kepada kebenaran.

 

Inilah saatnya

menyadari keindahan kupu-kupu beterbangan.

Bunga-bunga di padang belantara

Lembutnya daging dan susu ibu

dan para cucu masa depan

mencari Ilham.

 

Inilah saatnya,

Inilah saatnya.

Ya, saudara-saudariku.

Inilah saatnya bagi kita.

Di antara tiga gunung

melekuk rembulan

Usai membaca puisi ini, tepuk tangan yang riuh muncul. Putri WS Rendra terharu. Dia mengacungkan dua jempolnya ke arah Muhaimin. Clara berkata:"Luar biasa!."

Dan bagi Muhaimin, meski baru membaca puisi Rendra yang berjudul 'Inilah Saatnya', dia merasa memang pesannya sangat cocok dengan keadaan saat ini. "Semua dikacaukan keadaan, pandemi Covid. Semua serba stagnan serta dipaksa membuat format baru."

"Rendra dapat menggambarkan kondisi masa depan dengan sangat baik, lewat puisi-puisinya" katanya.

Muhaimin Iskandar berkata, puisi-puisi Rendra tidak ada tandingannya. Menularkan semangat memperbaiki keadaan.

"Bersyukur kita punya Rendra," ucap Muhaimin. 

 

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement