REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Facebook memperpanjang larangan iklan politik selama sebulan mendatang, Rabu (11/11). Keputusan itu muncul akibat meningkatkan kekhawatiran dari kampanye dan kelompok yang ingin menjangkau pemilih untuk pemilihan Senat Georgia di Amerika Serikat (AS) pada Januari.
"Meskipun berbagai sumber telah memproyeksikan pemenang presiden, kami masih percaya bahwa penting untuk membantu mencegah kebingungan atau penyalahgunaan di platform kami," kata Facebook kepada pengiklan melalui surel.
Larangan tersebut adalah salah satu langkah Facebook untuk memerangi misinformasi dan pelanggaran lain di situsnya setelah pemilihan presiden AS. Seharusnya, larangan tersebut hanya berlaku satu pekan saja, tetapi perusahaan memilih untuk memperpanjangnya.
Klaim tidak berdasar tentang pemilu bergema di media sosial minggu ini ketika Presiden Donald Trump menantang validitas hasil pemungutan suara. Banyak pengguna media sosial tetap melancarkan ketidakpercayaan hasil pemilihan, bahkan ketika pejabat negara melaporkan tidak ada penyimpangan yang signifikan dan pakar hukum memperingatkan Trump hanya memiliki sedikit kesempatan untuk membatalkan kemenangan Presiden terpilih dari Partai Demokrat, Joe Biden.
Dalam satu grup Facebook yang dibuat pada akhir pekan ini, dengan cepat berkembang memiliki hampir 400 ribu anggota pada Rabu. Mereka menyerukan penghitungan ulang secara nasional, menyatakan tuduhan tidak berdasar tentang dugaan penipuan pemilu dan mengubah penghitungan suara negara bagian setiap beberapa detik.
Google dari Alphabet Inc. juga tampaknya bertahan dengan larangan iklan politik pasca-pemilihan. Google tidak merinci lamanya jeda iklan akan diberlakukan, meskipun salah satu pengiklan mengatakan, perusahaan telah melayangkan kemungkinan untuk memperpanjangnya hingga atau setelah Desember. Juru bicara Google sebelumnya mengatakan, perusahaan akan mencabut larangannya berdasarkan faktor-faktor seperti waktu yang dibutuhkan untuk menghitung suara dan kemungkinan ada kerusuhan sipil.
Perpanjangan tersebut berarti bahwa dua raksasa periklanan digital teratas, tidak menerima iklan pemilu menjelang dua perlombaan pemilihan Senat AS di Georgia yang dapat memutuskan kendali atas majelis itu. Ahli strategi digital Demokrat dan Republik mengkritik keputusan itu.
Mereka menilai larangan iklan itu terlalu luas dan gagal untuk memerangi masalah yang jauh lebih besar di platform, penyebaran misinformasi terletak pada unggahan yang tidak dibayar. “Ini membuat kami benar-benar gila,” kata managing partner DSPolitical, sebuah perusahaan digital yang bekerja dengan gerakan Demokrat, Mark Jablonowski.
"Mereka pada dasarnya menyandera proses politik lainnya," kata ahli strategi digital Partai Republik, Eric Wilson.
Meski mendapatkan desakan untuk mencabut pelarangan tersebut, juru bicara Facebook, Andy Stone, mengatakan tindakan darurat itu tidak akan permanen. Hanya saja, keputusan tidak akan berubah dalam waktu cepat.