REPUBLIKA.CO.ID, Rekaman video sering dijadikan sebagai alat bukti untuk menuduh seseorang melakukan perbuatan asusila. Seperti dalam kasus perzinaan, dengan mudah seseorang menuduh orang lain berbuat zina hanya dengan dasar tayangan video. Seperti yang terjadi belakangan ini, ada rekaman video perzinaan yang tersebar dari tangkapan kamera televisi sirkuit tertutup (CCTV), ada juga warga yang secara langsung menyaksikan perbuatan zina kemudian memvideokan dengan gawainya hingga viral di media maya.
Sebenarnya, apakah sah bila rekaman video dijadikan bukti kasus perzinaan? Bagaimana bila ada satu orang laki-laki yang menyaksikan perbuatan zina dan memvideokannya secara langsung atau live streaming di dunia maya hingga disaksikan sejumlah netizen? Apakah netizen yang melihat juga bisa menjadi saksi?
Islam mengatur dengan sangat terperinci tentang saksi dari kasus perzinaan. Mulai dari jumlah saksi dan syarat-syarat yang harus terpenuhi dari saksi. Ini agar seseorang Muslim tidak dengan mudah menuduh seseorang berbuat zina atau qazaf. Sebab, risiko yang ditanggung orang yang menuduh berbuat zina bila tidak terbukti sangat besar.
Para ulama berpendapat perzinaan harus dibuktikan oleh empat orang saksi yang melihatnya secara langsung dalam waktu dan tempat yang bersamaan. Ini berlandaskan pada keterangan QS an-Nisa ayat 15, juga surah an-Nur ayat 4 dan 13. Semuanya menjelaskan bahwa tuduhan perbuatan zina harus menghadirkan empat orang saksi, termasuk yang menuduh. Bila tidak dapat terpenuhi, risiko yang diterima penuduh adalah hukum cambuk sebanyak 80 kali.
Pada masa Rasulullah terdapat di antara kalangan Muslim, yakni Syarik bin Sahma yang dituduh Hilal bin Umayyah telah berzina dengan istrinya. Maka Rasulullah pun memerintahkan untuk mengajukan saksi dan mengingatkan bahwa apabila tidak terpenuhi maka penuduh dikenakan hukuman //had//. Oleh karena itu, menurut Pimpinan Rumah Fiqih Indonesia Ustaz Ahmad Sarwat, ketentuan empat saksi tidak bisa digantikan oleh video rekaman.
"Dalam masalah persaksian, apalagi khususnya dalam kasus zina, maka syaratnya persaksian itu harus melihat langsung, bukan dengan gambar atau video atau melalui CCTV dan sebagainya, tidak bisa itu," ujar Ustaz Ahmad Sarwat kepada Republika, beberapa waktu lalu.
Menurut Ustaz Sarwat, di antara syarat melihat langsung perbuatan zina adalah saksi-saksi harus melihat dengan mata yang awas. Bila terdapat salah satu saksi yang rabun atau harus menggunakan alat bantu dalam melihat maka kesaksiannya tidak dapat diterima. Demikian dengan orang yang sudah harus pakai kacamata. Menurut dia, kesaksiannya sudah tidak bisa diterima.
"Matanya itu harus dua, jadi kalau ada orang yang matanya tinggal satu, misalnya, itu tidak bisa diterima sebagai orang yang bersaksi. Jadi, ibaratnya orang ngintip, itu lubangnya harus ada delapan karena saksinya ada empat dan masing-masing punya dua bola mata. Delapan lubang itu harus berfungsi karena dia memang untuk menyaksikan. Maka kalau hari ini ada rekaman orang berzina lalu viral, maka yang menonton itu tidak bisa dikatakan sebagai saksi," ujar Ustaz Sarwat.
Para ulama berpendapat, syarat-syarat saksi secara umum adalah harus baligh, artinya kesaksian seorang anak kecil tidak dapat diterima. Selain itu, saksi harus berakal, yakni mengetahui hak dan kewajiban, mudharat, dan manfaat. Oleh karena itu, kesaksian orang gila tidak dapat diterima.
Selain itu, saksi juga harus kuat ingatannya atau tidak boleh orang yang pelupa. Saksi juga harus sempurna dalam penglihatannya dan harus bisa memberikan penjelasan. Saksi juga haruslah seorang Muslim dan tidak dalam tekanan atau penghalang dalam memberikan persaksian. Bahkan, terdapat syarat yang menyebut saksi haruslah adil dalam kehidupannya.