REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah berencana untuk menghapuskan bahan bakar premium dari peredaran. Hal ini didukung oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan rencana ini bukan barang baru. Sebab, rencana ini memang sudah digulirkan oleh pemerintah sejak 2017.
Ia mengatakan kebijakan ini mandat dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor 20 Tahun 2017. Dalam beleid tersebut, masyarakat diharapkan mengkonsumsi BBM dengan research octane number (RON) minimal 91. Adapun premium memiliki nilai RON 88.
Penggunaan premium dianggap sudah tidak sesuai dengan semangat perbaikan kondisi lingkungan yang terus digaungkan oleh negara-negara global.
Memburuknya kualitas udara yang terjadi di beberapa kota besar Indonesia, termasuk Jakarta, sebagian besar disebabkan oleh polusi transportasi darat yang menggunakan BBM beroktan rendah. Salah satunya premium.
“75 persen pencemaran udara disebabkan oleh transportasi darat, khususnya kendaraan pribadi yang menggunakan BBM tidak ramah lingkungan. Kualitas udara yang buruk dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat,” ujar Tulus, Ahad (15/11).
Tulus yakin, secara umum Pertamina memiliki keandalan infrastruktur sehingga siap untuk mewujudkan penggunaan BBM ramah lingkungan. Sehingga dengan kata lain, seharusnya Pertamina sudah siap apabila Premium jadi dihapus.
Dengan begitu, saat ini yang paling dibutuhkan adalah konsistensi regulasi dan sinergitas antar kementerian atau lembaga, termasuk pemerintah pusat. “Selama ini implementasi BBM ramah lingkungan justru terkendala adanya regulasi dan kebijakan yang tidak konsisten oleh pemerintah pusat,” kata Tulus.